Saat orang terkasih berpulang, selalu menyisakan duka tersendiri. Terlebih bila sebelumnya orang yang paling kita kasihi itu tidak menunjukan tanda-tanda akan dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Masih beraktivitas seperti biasa, kalaupun sempat sakit, bukan tergolong sakit yang membahayakan.
Rasa sedih, pedih, bahkan tetap terasa hingga bertahun-tahun kemudian. Terutama saat tiba-tiba kangen, terus tersadar tidak bisa lagi dihubungi kecuali hanya lewat untaian doa.Â
Dalam pengalaman saya pribadi, ada dua momen yang paling berat saat orang terkasih berpulang. Momen ini saya rasakan saat ibu saya meninggal sekitar 10 tahun yang lalu. Momen pertama adalah, sesaat setelah orang terkasih mengembuskan nafas terakhir. Momen kedua, saat akan dikebumikan.
Sikap Denial, Bukan Meninggal, Hanya Tertidur Sangat Nyenyak
Saat mama mengembuskan nafas terakhir saya sedang berada di kantor. Waktu Kamis sore, 20 Juli 2010, ada telepon tak terjawab dari salah satu istri sepupu. Ada lebih dari lima misssed called. Waktu itu saya sedang ke ruangan lain dan ponsel disimpan di atas meja kerja.
Saat melihat panggilan telepon itu, saya sudah merasa tidak karuan. Mama saya memang sempat sakit. Beliau sepertinya kelelahan karena mengurus saya yang sempat terkena gejala typhus. Hampir satu minggu saya terbaring tidak dapat melakukan apa-apa. Badan lemas, mulut pahit, dan perut mual. Saat saya sembuh, tiba-tiba mama saya drop.
Namun hari itu --hari di mana mama meninggal, mama sebenarnya sudah beraktivitas (hampir) seperti biasa. Apalagi beberapa hari sebelumnya juga sudah ke dokter. Pagi-pagi beliau menyiapkan saya susu. Bahkan akan menyetrikakan baju saya yang akan dipakai ke kantor, tetapi saya cegah.
Mama saya memang biasa menyetrika baju kerja saya pagi-pagi, menyiapkan sarapan, dan menyeduhkan susu. Saat saya duduk di bangku kuliah, saya sempat melarang mama melakukan hal tersebut. Namun, ternyata itu merupakan kesenangan tersendiri buat mama. Ada rasa puas tersendiri katanya. Akhirnya saya biarkan.
Saat ada beberapa panggilan masuk tak terjawab itu, saya langsung teringat mama. Pasti ada apa-apa. Saat itu, saya buru-buru menelepon balik istri sepupu. Istri sepupu saya itu bilang, ibu saya mau dirawat di rumah sakit saja, dan saya diminta buru-buru pulang. Ternyata saat ditelepon itu, mama saya sebenarnya sudah tidak ada.
Perlu waktu sekitar 20-30 menit dari kantor ke rumah. Namun saat itu, saya berkendara lebih cepat. Sambil menangis terisak-isak, saya melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Meski istri sepupu tidak bilang, berkali-kali berkelebat di benak saya bendera kuning yang dipasang di depan jalan masuk menuju rumah, tetangga-tetangga yang berduyun-duyun bertakziah ke rumah.
Waktu itu saya berpikir, kalau mama sekadar dimasukan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik, pasti waktu itu yang menelepon adalah bapak saya. Bukan istri sepupu. Saya dan orangtua termasuk tipikal yang malas merepotkan orang lain. Bila sanggup dilakukan sendiri, kami lakukan sendiri.