Hentakan tangan Sunaryo membuat kalender berwarna  biru tersebut bergoyang ke kiri dan kanan. Helaian kertas yang memuat deretan angka selama satu tahun tersebut seolah sedang mencoba menyeimbangkan diri --mencari posisi agar kembali menggantung dengan tegak di dinding ruang tamu.
Sejak beberapa bulan lalu, saat Ramadan masih jauh dari pelupuk mata, Sunaryo kerap memegangi almanak yang hanya satu helai tersebut. Setiap pulang mengajar --usai istri dan ketiga putrinya terlelap, ia menanggalkan kalender tersebut dari gantungan paku berwarna hitam. Ia pandangi almanak tersebut dalam-dalam, terutama tanggalan merah yang diperkirakan akan menjadi libur panjang Hari Raya Idulfitri.
Sejak berpuluh hari lalu, Sunaryo sempat mengutarakan niat untuk pulang pada "hari kemenangan" tersebut. Apalagi ia terakhir kali mudik ke kampung halaman 18 bulan lalu, saat ayahandanya tercinta meninggal dunia. Ada rasa sesal yang hinggap di hati Sunaryo saat harus kembali bertemu dengan sang ayah dalam kondisi yang tak lagi bernyawa.
Apalagi beberapa bulan sebelum ayahnya meninggal, Sunaryo memang berniat untuk pulang. Lelaki berusia 40 tahun tersebut sudah mengintip-intip harga tiket pesawat. Ia bahkan sudah menghitung berapa kira-kira biaya yang harus ia keluarkan selama pulang kampung.
Namun rencana tersebut batal dengan terpaksa. Atap rumah yang hampir rubuh memupuskan niatnya untuk bertemu keluarga. Uang yang sedianya untuk pulang naik pesawat lima orang tersebut, terpaksa ia korbankan untuk memperbaiki atap rumah agar kembali bisa memayungi mereka dengan aman.
Lima tahun sebelumya, ia juga mengalami pengalaman yang hampir sama. Sunaryo sudah berniat pulang untuk bertemu keluarga besarnya yang tinggal di tanah Jawa. Namun lagi-lagi niat tersebut harus ia kubur dalam-dalam. Biaya uang muka rumah ternyata menguras habis tabungannya.
Sunaryo harus memendam pedih. Bukan hanya sedih karena batal pulang, tetapi tak berapa lama dari rencana kepulangannya tersebut, ia mendengar kabar bahwa Mbahti yang selalu merawatnya dengan sabar berpulang ke sang pencipta. Remuk rasanya saat terpaksa harus mendoakan neneknya tercinta hanya dari jauh.
Lima tahun lalu, memiliki rumah memang menjadi prioritas Sunaryo. Harga sewa rumah yang terus melambung membuat ia mengorbankan keinginannya untuk pulang. Rasa rindu bertemu keluarga tercinta ia pupus dalam-dalam. Sunaryo hanya berdoa, semoga ada kesempatan untuk bertemu keluarganya di waktu lain.
Saat mendapat rejeki yang sedikit berlimpah pada waktu itu, ia putuskan untuk mengambil KPR rumah. Apalagi Sunaryo sudah memiliki tiga orang anak yang tentu harus lebih dipikirkan biaya pendidikan dan lainnya. Sehingga, untuk menghemat pengeluaran beberapa tahun kedepan, ia paksakan mengkredit rumah.
***