Siang itu, saat saya berkunjung ke Gurun Telaga Biru, Bintan, Kepulauan Riau bersama keluarga dan kerabat, mentari berpendar terik, sinarnya putih berkilauan, memantul-mantul dari "pasir" yang menghampar luas. Selintas seperti serpihan-serpihan mutiara kecil yang tercecer.
Suhu yang begitu panas membuat beberapa kerabat urung berkeliling "gurun". Mereka lebih memilih untuk tetap diam di dalam kendaraan, sebagian memutuskan untuk duduk manis di kedai-kedai kecil yang berjejer rapi di sepanjang pintu masuk sambil menyesap segarnya air kelapa muda.
Kedai-kedai di Gurun Telaga Biru, Bintan, Kepulauan Riau. | Dokumentasi Pribadi
Sementara saya dan si buah hati tetap memutuskan menyusuri "pasir-pasir" itu. Panas menyengat kami kesampingkan. Saya pikir,
rugi banget sudah jauh-jauh dari Batam, Kepulauan Riau, menempuh perjalanan dengan kapal RoRo selama hampir 60 menit, dan kendaraan roda empat sekitar 20 menit, setelah sampai malah hanya menonton orang berjalan-jalan.
Matahari yang bersinar terik di Gurun Telaga Biru, Bintan, Kepulauan Riau, membuat muka saya semakin hitam hehe. | Dokumentasi Pribadi
Akhirnya setelah mengoleskan
sun block dan membawa sebuah payung berukuran lebar, saya mengajak anak untuk berkeliling Gurun Telaga Biru. Namun ternyata, payung tidak dapat diandalkan untuk menghalau silau. Angin bertiup kencang, sehingga payung tersebut beberapa kali terbawa angin dan terbalik. Dengan berat hati akhirnya payung saya tutup.
Mirip Gurun Sahara
Namun, sinar matahari yang begitu terik ternyata membawa berkah tersendiri. Suhu panas tersebut justru membuat objek wisata Gurun Telaga Biru berada di titik paling bagus untuk dijadikan sebagai latar belakang foto untuk diunggah di sosial media. Langit begitu biru, pasirnya berkilauan.
Gurun Telaga Biru, Bintan, Kepulauan Riau. | Dokumentasi Pribadi
Selintas, kami seperti sedang berada di Gurun Sahara, padahal hanya di bekas galian pasir di Desa Busung. FYI, hamparan pasir seluas 6.000 hektar tersebut memang bekas galian pasir bauksit yang dulunya dijual ke Singapura. Namun, setelah dilarang pemerintah untuk mengekspor pasir, lahan tersebut menjadi terbengkalai. Setelah berlalu puluhan tahun, bekas galian tersebut mengeras menyerupai gurun di Timur Tengah.
Gurun Telaga Biru, Bintan, Kepulauan Riau. | Dokumentasi Pribadi
Warga setempat akhirnya berinisiatif memanfaatkan tempat tersebut untuk objek wisata, Terlebih, ditengah "gurun" tersebut juga ada genangan air cukup luas yang berwarna biru kehijauan. Sehingga, terlihat sangat kontras dengan gumpalan pasir yang berwarna putih kecoklatan.
Gurun Telaga Biru, Bintan, Kepulauan Riau. | Dokumentasi Pribadi
Untuk menarik lebih banyak pengunjung, pengelola tak hanya mengandalkan panorama gurun dan telaga biru, mereka juga secara bertahap bahu-membahu menyediakan beberapa properti instagramable, mulai dari ayunan, panahan, pelantar, kartun Upin Ipin,
spot romantis, "unta", hingga jasa penyewaan perahu dan sepeda kayuh bebek.
Gurun Telaga Biru, Bintan, Kepulauan Riau. | Dokumentasi Pribadi
Untuk berfoto di
spot-spot instagenic, pengunjung dikenakan biaya Rp5.000/properti, sementara untuk perahu dan bebek kayuh biaya sewanya mulai dari Rp15.000/orang. Biaya tersebut dibayarkan langsung ke petugas yang berjaga. Saat saya berkunjung ada anak kecil yang berjaga di setiap titik untuk berfoto ria. Sementara di bagian penyewaan perahu, dijaga beberapa ibu-ibu.
Upin Ipin di Gurun Telaga Biru, Bintan, Kepulauan Riau. | Dokumentasi Pribadi
Biaya tersebut menurut saya cukup terjangkau. Apalagi tidak ada biaya masuk ke objek wisata tersebut. Pengunjung hanya perlu membayar biaya parkir Rp2.000 untuk sepeda motor, dan Rp5.000 untuk mobil. Bila enggan membayar biaya tambahan, cukup jalan-jalan saja melihat-lihat, atau berfoto di tempat yang tidak dikenakan biaya. Apalagi spot berbayar hanya sebagian kecil dari objek wisata tersebut.
Lihat Trip Selengkapnya