Saya belajar ini dari seorang tukang sayur yang berjualan di salah satu pasar dekat rumah. Suatu hari tanpa saya minta, seorang ibu penjual sayur menawarkan bantuan dengan memberikan sebuah plastik besar saat melihat saya kerepotan membawa banyak belanjaan dalam plastik kecil-kecil yang terpisah.
Beliau bilang kasihan melihat saya yang kerepotan menenteng beberapa belas kantong plastik kecil-kecil yang berisi bumbu dapur, ikan, dan sayur. Khawatir belanjaan saya tercecer. Padahal saya tidak kenal dengan ibu penjual sayur tersebut. Jarang juga berbelanja di kios beliau.
Saya sempat ragu menerima kebaikan ibu penjual sayur tersebut, namun karena memang memerlukan kantong kresek tersebut, akhirnya saya menerima juga. Apalagi ibu itu bilang, saya bukan orang pertama yang mendapat tawaran kebaikan dari beliau. Ada beberapa pembeli lain yang mendapatkan penawaran yang sama. Selama si ibu itu melihat orang itu memang membutuhkan uluran tangannya, meski tidak berbelanja di kios beliau.
Ibu itu bilang ia berbuat seperti itu benar-benar tulus, tidak mengharapkan apa-apa. Namun kebaikan memang berbuah kebaikan. Orang-orang yang beliau tolong, perlahan mulai berbelanja di kios beliau.Â
Apalagi bumbu dapur dan sayur yang dijual sangat segar, kalaupun ada yang kurang baik, biasanya dipisahkan di tempat khusus dengan harga yang lebih terjangkau. Alhasil, usaha ibu itu semakin berkembang. Jenis sayur dan bumbu dapur yang ditawarkan semakin banyak dan beragam.
Saya jadi menghimpun satu energi baik lagi, biasakan berbuat baik pada siapapun, kenal ataupun tidak. Bukan, bukan, untuk mendapatkan timbal balik, namun lebih kepada menyebar energi positif. Jujur, saat saya mendapat satu kebaikan, saya jadi terinspirasi untuk memberi kebaikan juga pada orang lain, meskipun hanya suatu kebaikan yang sederhana.
Belajar Mengubah Hal Buruk Menjadi Sesuatu yang Baik
Saya sangat terinspirasi dengan salah satu kerabat. Saat kecil beliau dibesarkan oleh seorang ibu tiri yang lumayan kejam. Tenaga beliau diporsir untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan lain, tetapi tidak diberi asupan gizi yang baik. Jangankan diberi makan empat sehat lima sempurna, nasi dan lauk pauk yang sudah dimasak oleh si ibu tiri digantung diatas plafon rumah agar kerabat saya itu tidak bisa makan.
Saat kerabat saya itu lapar, ia terpaksa menyundul-nyundul lauk pauk dan nasi tersebut dengan sapu, setelah beliau naik ke atas kursi. Postur beliau yang saat itu masih anak-anak, ditambah plafon rumah zaman dulu yang lumayan tinggi membuat ia kesulitan menggapai aneka makanan tersebut.
Alhasil, nasi dan lauk pauk tersebut bisa tergapai, namun tidak "selamat". Saat tersundul sapu, nasi dan lauk pauk tersebut tumpah ke lantai. Berserakan. Berceceran. Tak bisa termakan. Ia malah mendapat pukulan dan omelan panjang lebar dari si ibu tiri --dalam kondisi lapar dan letih setelah mengerjakan pekerjaan rumah. Beruntung ayah dari kerabat saya itu akhirnya tahu kelakuakn si istri dan memutuskan berpisah sehingga siksaan tersebut akhirnya berakhir.
Namun luka batin tersebut tetap membekas di hati kerabat tersebut. Akan tetapi luka itu tidak ia jadikan dendam, tetapi ia ubah untuk tidak pernah memperlakukan anak-anak dengan kejam, siapapun mereka. Itu makanya, ia tidak pernah memukul anak, mengomeli anak, ia juga sangat royal pada anak-anak, bahkan pada anak-anak yang bukan darah dagingnya sendiri.