Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepulauan Riau (Kepri) mengklaim, perusahaan pengelola air bersih di Batam, Kepri, menunggak pajak air permukaan. Tunggakan yang diklaim pemerintah provinsi ke PT Adhya Tirta Batam (ATB) tersebut tak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai Rp17 miliar.
Berdasarkan informasi yang dirilis surat kabar "Batam Pos" edisi Kamis, 12 Oktober 2017, tunggakan itu akibat Pemprov Kepri mengeluarkan Peraturan Gubernur No 25 Tahun 2016 tentang Pajak Air Permukaan. Berdasarkan peraturan tersebut, per Januari 2016 pajak air permukaan di Batam naik dari Rp20/m3 menjadi Rp180/m3.
Masalahnya, meski peraturan tersebut sudah diklaim diberlakukan Pemprov Kepri sejak Januari 2016, pihak ATB merasa tidak pernah diberi informasi secara formal terkait peraturan gubernur itu. Alhasil, operator perusahaan air swasta tersebut tetap membayar pajak air permukaan ke Pemprov Kepri melalui BP Batam sebesar Rp20/m3.
Peraturan Terkait Pelayanan Publik, Mengapa Tak Disosialisasikan?
Beberapa bulan lalu, surat kabar "Batam Pos" juga sempat memberitakan mengenai peraturan terkait kenaikan pajak air permukaan tersebut. Namun sayangnya bukan mengenai alasan mengapa peraturan tersebut harus diberlakukan, kapan akan diberlakukan, Â dan apa dampak bagi masyarakat Batam khususnya, atau Kepri umumnya bila peraturan itu "gagal" diberlakukan.
Berita tersebut justru hampir mirip dengan berita yang dipublikasikan "Batam Pos" edisi Kamis, 12 Oktober 2017. Isi berita itu juga lebih menyoroti ATB yang menunggak pembayaran pajak air permukaan, serta desakan agar perusahaan yang mendapat konsesi pengelolaan air bersih dari BP Batam tersebut segera melunasi tunggakan.
Menurut saya pribadi, seharusnya jauh sebelum peraturan tersebut diberlakukan, ada sosialisasi terlebih dahulu. Bila memang masyarakat Batam dianggap tidak perlu tahu terkait kenaikan pajak air permukaan tersebut, setidaknya Pemprov Kepri memberitahu secara resmi kepada pihak terkait --ATB selaku si pembayar pajak dan BP Batam selaku regulator pengelolaan air bersih di Batam.
Sehingga, kalaupun memang harus diberlakukan sesuai dengan peraturan gubernur tersebut, setidaknya mereka bisa mengatur langkah, sehingga aturan tetap bisa dijalankan, namun juga (diharapkan) tidak begitu memberatkan masyarakat Batam yang menjadi pelanggan air bersih perpipaan.
Mengapa Pajaknya Lebih Mahal Dibanding Benda yang Dipajaki?
Bila peraturan gubernur tersebut tetap diberlakukan, ada sedikit janggal. Pasalnya, harga air baku yang dibeli ATB dari BP Batam untuk diolah menjadi air bersih dan didistribusikan kepada pelanggan adalah Rp150/m3. Sementara, pajak air baku yang ditetapkan berdasarkan peraturan gubernur yang baru adalah Rp180/m3. Itu berarti harga pajaknya akan lebih mahal Rp30/m3 dibanding harga air baku itu sendiri.
Menurut saya itu agak sedikit aneh karena umumnya pajak akan lebih rendah dari harga barang yang dijual. Apalagi air baku merupakan kebutuhan mendasar setiap individu. Air baku seharusnya bukan barang mewah yang harus dikenakan pajak lebih tinggi dari barang yang dijual itu sendiri.