Sangat menarik membaca ulasan salah satu kompasianer terkait wacana Mendikbud Muhadjir Effendy yang melarang guru untuk memberikan PR kepada siswa. Kompasianer tersebut tidak sependapat dengan sang menteri. Ia justru beranggapan PR masih diperlukan karena dinilai dapat meningkatkan kemampuan siswa menyelesaikan masalah, melatih murid bertanggung jawab, hingga memberi kesempatan agar siswa dapat menemukan cara kreatif dalam menyelesaikan masalah, dst, dll, dsb. Selengkapnya dapat dibaca disini.
Untuk beberapa hal saya sependapat dengan kompasianer tersebut. Apalagi Ibu Majawati Oen pasti membuat tulisan berdasarkan pengalaman pribadi sebagai seorang guru. Sebagai seorang pendidik, beliau pasti ingin memberikan yang terbaik bagi para murid. Tulisan tersebut pasti beliau buat karena gelisah – khwatir para murid tidak mendapat didikan maksimal karena Pak Menteri ada rencana menghilangkan PR.
Namun saya sebagai orang tua – dan selama beberapa waktu sempat mengecap profesi sebagai pendidik, mulai dari guru TK, guru SMK, hingga dosen perguruan tinggi, saya justru sependapat dengan Mendikbud Muhadjir Effendy. Secara pribadi saya berpendapat ada baiknya PR memang ditiadakan.
Persis seperti yang disampaikan Mendikbud – saya membaca pendapatnya melalui Batam Pos edisi Jumat, 14 Oktober 2016, halaman 3, umumnya PR yang diberikan guru kepada siswa, justru menjadi PR orangtua. Tidak sedikit orangtua yang malah mengerjakan PR tersebut.
Saya sempat menjadi saksi mata bagaimana salah satu orangtua murid SD kelas IV terpaksa pulang lebih lambat dari kantor karena harus mengerjakan PR sang anak. Orangtua tersebut mencari gambar/foto/definisi/jawaban atas tugas/PR yang diberikan guru sang anak. Apalagi PR tersebut harus di print rapi.
Orangtua tersebut bilang daripada malam-malam harus browsing lagi di rumah mencari foto bla bla bla untuk PR sang anak, belum lagi ia tidak memiliki printer. Sehingga, mumpung ada fasilitas kantor, apa salahnya mengerjakan PR tersebut di kantor. Sementara sang anak, hanya tinggal menyebutkan pertanyaan yang diberikan sang guru melalui sambungan telepon. Alhasil tujuan guru untuk membuat si anak lebih paham, pupus saat PR yang seharusnya dikerjakan si anak, malah dikerjakan oleh orangtua. Eh, kecuali mungkin ya saat sampai rumah si orangtua menjelaskan semua jawaban dari PR yang diberikan guru. Sehingga, meski tidak mengerjakan sendiri, anak tersebut tetap paham.
TANPA PR, ANAK TETAP BISA BERTANGGUNG JAWAB
Dulu saat saya masih menjadi seorang pengajar, sebisa mungkin saya tidak memberikan PR. Meski demikian, bukan berarti saya melepas siswa terkait materi yang saya berikan. Saya tetap ingin tahu apakah materi yang saya terangkan sudah dimengerti siswa atau belum. Untuk mengukur hal tersebut, saya biasanya memberikan tugas dikelas.
Usai menerangkan suatu materi, saya akan memberikan beberapa pertanyaan. Pertanyaan tersebut harus dijawab siswa pada sehelai kertas yang harus dikumpulkan dengan batas waktu tertentu pada hari yang sama. Selama mengerjakan tugas tersebut siswa saya awasi, sehingga mereka benar-benar mengerjakan sendiri tidak melakukan kerjasama dengan teman kiri-kanan-depan-belakang. Setelah tugas tersebut dikumpulkan seluruhnya, saya meminta setiap siswa secara bergantian menjawab soal yang dikerjakan tadi di papan tulis. Setiap satu siswa selesai menjawab satu soal, saya akan membahas jawaban tersebut, bila betul diberi tahu mengapa jawabannya betul, bila masih salah, jawaban tersebut dibetulkan sambil dberikan penjelasan.
Saya mempelajari metode tersebut dari salah satu dosen saat kuliah dulu. Meski dosen tersebut tidak pernah memberikan tugas diluar jam kuliah, mahasiswa tetap bertanggung jawab karena memang tetap ada tugas yang harus dikumpulkan. Selain itu, tetap terlatih mengerjakan soal dengan baik karena memang ada soal yang harus dikerjakan secara mandiri. Plusnya, bila ada yang tidak mengerti, bisa saat itu juga mengetahui jawabannya, karena usai dikerjakan langsung dibahas.
TETAP LIBATKAN ORANGTUA