Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Janji Naresh (Bagian 13)

12 Agustus 2014   16:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:45 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke kamar dan terus menerus mengurung diri. Aku tidak menjelaskan apapun pada orangtuaku. Beruntung mereka mengerti dan tidak memaksaku untuk membahas tentang perceraian itu. Mereka hanya memaksaku untuk makan atau setidaknya mengkonsumsi beberapa makanan ringanagar aku tidak jatuh sakit.

Selama beberapa hari ini yang aku lakukan hanyalah browsing internet, namun aku tidak mengecek e-mail dan Friendsterku karena aku yakin pasti beberapa temanku mengirim e-mail tentang perceraianku itu, mungkin mereka hanya mengirimkan dukungan atau semacamnya tetapi tetap saja aku malas berhubungan dengan apapun yang terkait dengan perceraianku itu. Setelah bosan browsing internet aku mendengarkan radio, membaca novel-novel yang aku beli dulu, main games dikomputer, segala macam. Aku mencoba menyibukan diri agar tidak terlalu memikirkan tentang perceraianku itu.

Walaupun tidak merasa lebih baik tapi aku sedikit merasa nyaman karena biar bagaimana ini rumahku, rumah orangtuaku, aku bebas melakukan apapun dengan fasilitas yang ada, tetapi itu bukan berarti sewaktu di Depok dulu aku tidak bebas lho dan tidak merasa nyaman, hanya saja suasananya berbeda. Mungkin karena waktu itu ada Adhi dan Mas Rai juga yang selalu menshoot setiap hal yang aku lakukan.

Setelah merasa lebih baik aku mencoba untuk kuliah kembali karena sudah seminggu lebih aku bolos kuliah. Aku mencoba untuk menata kembali hidupku senormal mungkin. Gosip-gosip yang beredar di TV tidak sesanter kemarin – mungkin karena tidak ada orang lagi yang bisa dimintai keterangan, aku selalu menolak untuk diwawancara, sedang Riksya dan Dudi pergi ke Jerman (akhirnya Riksya jadi juga merayakan tahun baru di sana), dan orang-orang terdekat aku dan Riksya tidak tahu kabar terbaru mengenai perceraian antara aku dan Riksya, ya jangankan mereka aku sendiri saja tidak tahu, karena sejak aku meninggalkan rumah kami di Depok Riksya belum juga menghubungiku dan memberi tahu apakah kami jadi bercerai, karena sesuai dengan kesepakatan, Riksyalah yang akan mengajukan gugatan cerai – bukan aku

Teman-temanku yang delapan orang itu cukup pengertian dengan tidak membahas perceraian aku dan Riksya, mereka bersikap seperti waktu itu ketika aku belum menikah dengan Riksya. Kami bergosip tentang dosen-dosen, teman-teman kuliah yang lain, gebetan-gebetan baru, aku merasa terhibur berkumpul dengan mereka dan sedikit bisa melupakan masalahku.

Namun ternyata itu hanya berlangsung beberapa hari karena tiba-tiba beberapa wartawan dari berbagai infotainment dan tabloid mendatangiku ke kampus, entah mereka tahu dari siapa kalau aku mulai kuliah kembali, tapi mereka mulai bergerombol dan terus mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Mereka tidak mendatangiku ke kelas atau kawasan kampus tapi para wartawan itu menungguku di tempat aku biasa makan – yang berjarak beberapa meter dari kampus. Teman-temanku berusaha melindungiku karena mereka tahu aku merasa terganggu dengan para wartawan itu, tetapi karena didesak terus akhirnya aku menjawab beberapa pertanyaan mereka secara jujur agar aku tidak dikejar-kejar terus, termasuk aku masih belum tahu apa aku akan bercerai dengan Riksya atau tidak sebab sampai sekarang lebih dari satu minggu Riksya belum juga menghubungiku dan malah asyik liburan ke Jerman. Ketika para wartawan itu bertanya apakah perceraian kami dipicu karena Riksya kembali dekat dengan Chacha dengan tegas aku bilang tidak (karena kenyataannya bukan Chacha sebab utamanya walaupun bisa jadi Chacha sebagai salah satu alasan Riksya ingin mengakhiri pernikahan pura-pura ini secepatnya). Setelah menjelaskan panjang lebar dan berjanji akan memberi tahu mereka apabila Riksya sudah mengajukan gugatan cerai, akhirnya mereka pergi dengan sendirinya. Beberapa dari mereka ada yang menawarkan wawancara eksklusif (dengan bayaran yang lumayan tinggi tentunya) tetapi aku menolak dengan tegas dan berkata akan lebih baik kalau aku menunggu Riksya pulang dan memberikan statement bersama-sama, biar semuanya lebih jelas dan tidak terkesan saling melempar statement.

Sehari setelah wawancara dadakan di tempat makan dekat kampus itu, gosip-gosip perceraian aku dengan Riksya kembali muncul di berbagai infotainment dan tabloid. Dan gara-gara hal itu mama dan papaku menanyakan kelanjutan hubungan antara aku dan Riksya. Sewaktu aku bilang tidak tahu sebab Riksya belum juga memberi kejelasan tiba-tiba mereka meminta agar aku saja yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Mereka bilang tidak baik kalau statusku tidak jelas terus seperti ini, dan mereka semakin mengompori aku untuk segera mengajukan gugatan cerai setelah mereka tahu kalau aku dan Riksya hanya menikah pura-pura. Aku memang menjelaskan dari awal duduk persoalannya pada mama dan papaku karena aku pikir mereka berhak tahu dan aku tidak sanggup menyembunyikan apapun lagi dari mereka.

Orangtuaku – terutama mama – terus mendesakku agar aku segera mengajukan gugatan cerai, dan itu membuat aku kembali merasa tertekan. Walaupun aku tidak mencintai Riksya tetapi aku tidak mau mengajukan gugatan cerai lebih dulu, biar saja Riksya, kalau perlu aku malah hanya ingin menandatangani surat perceraiannya saja tidak perlu datang ke pengadilannya.

Entah karena terus-terusan didesak mama agar segera mengajukan gugatan cerai, atau karena kekurangan asupan gizi, atau karena berbagai persoalan yang terus menderaku, akhirnya kondisi tubuhku turun drastis. Tiba-tiba perutku merasa melilit, kepalaku serasa ditusuki ratusan jarum, dan tiba-tiba aku merasa tidak sanggup duduk dan ingin rebahan. Sayup-sayup aku masih mendengar Bu Prita menjelaskan mengenai langkah-langkah menerjemahkan yang baik ketika aku tiba-tiba tidak merasakan apa-apa lagi selain merasa seolah-olah masuk kedalam terowongan yang sangat gelap, berputar-putar tanpa ujung.

Samar-samar aku mendengar isak tangis seseorang, dari suaranya sepertinya isak tangis mama. Lalu perlahan aku membuka mataku dan melihat kesekeliling, benar mama sedang terisak disampingku. Mama membenamkan mukanya ketempat tidur yang aku tempati, dan selain mama aku tidak melihat siapapun.

“Mama..” ucapku perlahan.

Ketika mendengar suaraku mama langsung berhenti menangis, “kamu sudah sadar,” katanya senang. “Alhamdulillah.”

Kemudian mama meninggalkanku sebentar yang ternyata untuk memanggil papa yang sedang duduk-duduk diluar.

Kata mama aku tidak sadarkan diri selama beberapa jam karena stres dan kurang makan. Teman-teman kuliahkulah yang mengantarkan aku ke rumah sakit. Setelah selesai mengurus administrasi kemudian orangtuaku memindahkan aku kerumah sakit yang dekat dengan rumah kami di Bogor.

Selama tiga hari aku dirawat di rumah sakit, sebenarnya pas hari kedua dokter sudah memperbolehkan aku pulang, tetapi mama bersikeras agar aku sehari lagi dirawat di rumah sakit agar kondisiku benar-benar pulih katanya.

Sebelum pulang dokter menasihatiku agar aku makan dengan teratur dan menghindari stres. Tapi gimana mau menghindari stres kalau hampir semua orang menanyakan kelanjutan perceraian aku dengan Riksya, ketika aku dirawat dirumah sakit pun banyak wartawan yang meminta ijin untuk mengambil gambarku dan mewawancara tapi tentu saja itu ditolak orangtuaku dan dokter yang merawatku, yang hanya diijinkan menjenguk hanyalah teman-teman kuliahku dan beberapa keluargaku dari pihak mama dan papa, itu juga dengan catatan tidak boleh menyinggung sedikitpun tentang Riksya. Kudengar Adhi sempat datang ke rumah sakit dan ingin menjengukku tapi mama melarangnya. Mungkin mama berkesimpulan gara-gara keteledoran Adhi-lah semuanya jadi kacau seperti ini atau mama hanya ingin menghindarkan semua hal yang mengingatkan aku pada Riksya biar aku cepat pulih.

Namun ternyata semua usaha mama itu sia-sia karena beberapa jam setelah aku pulang dari rumah sakit, malah Riksya sendiri yang datang ke rumah mengunjungiku. Riksya datang bersama Dudi dan mamanya.

Mama sempat tidak mengijinkan Riksya menemuiku (aku mendengarnya ketika mama berdebat dengan Riksya), namun karena didesak papa – orang jauh-jauh datang menjenguk masa tidak diijinkan, apalagi Riksya datang dengan mamanya – akhirnya mama mengijinkannya juga.

Aku sama sekali tidak berbicara dengan Riksya, Riksya hanya menatapku dan mengamati kondisiku, mamanyalah dan Dudi yang terus-terusan menanyakan kondisiku dan memberikan berbagai nasehat supaya aku cepat sembuh dan tidak jatuh sakit lagi – padahal aku kan memang sudah benar-benar sembuh, makanya dokter mengijinkan aku pulang.

“Mama berharap kalian tidak jadi bercerai, tetapi kalau itu yang terbaik untuk kalian terserah, Mama hanya ingin walaupun nanti kamu sudah berpisah dengan Riksya, kita masih bisa menjaga silaturahmi dengan baik,” ucap mamanya Riksya ketika berpamitan pulang.

“Iya, Ma. Maaf kalau Naresh ada salah dan maaf kalau selama ini Naresh jarang sekali mengunjungi Mama,” ucapku. Aku baru tersadar, selama aku menikah dengan Riksya hanya dua kali aku berkunjung ke rumah mama dan papanya Riksya, pertama pas lebaran, kedua pas ada acara keluarga.

“Sudahlah..” kata mamanya Riksya, “Mama juga minta maaf kalau ada salah-salah, cepat sembuh ya.”

Setelah itu Dudi yang berpamitan dan kemudian Riksya. Riksya hanya mengucapkan semoga aku cepat sembuh, tidak ada yang lain, bahkan dia tidak menyalamiku seperti yang dilakukan oleh Dudi. Ah, mungkin sebenarnya dia memang tidak berniat untuk mengunjungi aku. Mungkin dia mengunjungiku karena dipaksa mamanya dan Dudi.

Dan entah kenapa tiba-tiba aku merasa sedih mempunyai pikiran seperti itu. Mungkin karena menurutku kalau Riksya memang tidak berniat mengunjungiku harusnya dia tidak melakukannya daripada datang dengan terpaksa seperti itu.

Selama seminggu aku masih beristirahat di rumah dan tidak masuk kuliah. Selama seminggu ini kondisiku mulai membaik dan sepertinya aku sudah mulai bisa menghadapi masalahku. Aku tidak lagi menghindari acara TV apalagi acara gosip, dan aku tidak lagi takut memberikan statement kepada para wartawan infotainment itu. Hanya saja aku merasa sedih ketika aku tahu kalau Riksya sekarang sangat dekat dengan Chacha, lebih dekat dari waktu itu ketika aku masih tinggal bersama Riksya, entah kenapa tapi sepertinya hanya karena tidak rela dan egoku merasa terluka sebab biar gimana Riksya masih suami sahku (walaupun pura-pura) dan orang-orang tahunya seperti itu (walaupun sebentar lagi kami akan bercerai), mungkin aku hanya ingin Riksya menyelesaikan masalahku dulu baru kembali mendekati Chacha. Aku hanya ingin Riksya resmi bercerai denganku dulu baru kembali membina hubungan dengan Chacha. (bersambung)

Cerita sebelumnya:

http://fiksi.kompasiana.com/novel/2014/08/11/novel-janji-naresh-bagian-12-672618.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun