Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Janji Naresh (Bagian 17)

15 Agustus 2014   23:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:26 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Semalam, setelah Riksya pulang aku langsung masuk ke kamar dan menangis. Aku sudah tidak tahan lagi ingin menumpahkan semuanya. Sewaktu masih di mobil pun sebenarnya aku sudah meneteskan air mata, tetapi waktu itu aku berkilah pada Riksya kalau aku ngantuk dan pusing, dan kalau ngantuk aku memang suka keluar air mata, walaupun tentu saja berbeda antara air mata yang keluar karena ngantuk dengan air mata karena sedih.

Sepanjang jalan itu Riksya terus-terusan khawatir, dia sempat menyarankan agar aku memeriksakan diri ke dokter 24 jam, tetapi tentu saja aku menolak, Riksya juga sempat menyarankan agar aku minum obat “warung”, tetapi lagi-lagi aku menolak. Akhirnya Riksya menyarankan agar aku tidur dan beristirahat.

Mama sempat kaget melihat kondisiku yang sangat kusut sambil digandeng oleh Riksya. Tetapi aku bilang aku hanya ngantuk dan sedikit pusing karena masuk angin. Setelah Riksya berbasa-basi sebentar dengan mama dan membantuku meyakinkan mama kalau aku tidak apa-apa – hanya perlu istirahat dan tidur (sebelum turun dari mobil aku meminta seperti itu pada Riksya agar mama tidak khawatir), akhirnya Riksya pulang dan aku langsung menghambur ke kamarku. Menangis sejadi-jadinya.

Aku kembali membongkar artikel-artikel mengenai Riksya yang kemarin sudah aku masukan kedalam kardus besar dan aku simpan di kolong tempat tidur, aku membuka-buka foto pernikahan kami dulu, membaca puisi yang aku buat untuk Riksya, semuanya. Dan aku baru menyadari perasaan itu.. perasaan aku ke Riksya. Adhi benar, aku tidak hanya ngefans sama Riksya tetapi aku juga mencintainya. Sekarang aku menyadari mengapa ada perasaan sakit ketika aku tahu Riksya ‘dekat’ dengan Chacha.

Tetapi sekarang sudah terlambat. Besok kami akan bercerai dan Riksya akan segera menikah dengan Chacha, sedang aku akan pergi ke Kanada. Kami sudah punya rencana masing-masing untuk mengisi sisa hidup kami.

Aku terus saja menangis sambil melihat dan mengingat-ingat semua hal mengenai Riksya.

“Resh.. bangun,” Mama mengguncang-guncang tubuhku. Ternyata saking sedihnya, tadi malam aku ketiduran dan lupa mengunci pintu kamar. Rencananya tadi malam sebelum tidur aku akan cuci muka dan gosok gigi tapi ternyata setelah menangis itu aku malah ketiduran.

“Kamu nangis ya?” tanya mama. Aku memang sebal pada mataku karena setiap habis menangis pasti mataku membengkak, dan semakin sedih hatiku semakin besar bengkakan dimataku.

“Kenapa?” tanya mama lagi.

“Nggak tau tadi malem Naresh ngerasa sedih aja harus berpisah dengan Mama, Papa, dan teman-teman Naresh,” jawabku berbohong, padahal aku sedih gara-gara Riksya akan menikah dengan Chacha.

“Ya kamu disananya kursus aja gak usah kuliah, Mama juga sedih kalau harus pisah lama-lama dengan kamu.”

“Gimana nanti aja deh, Ma,” kataku, aku takut juga kalau tiba-tiba mama berubah pikiran dan tidak mengijinkanku untuk kuliah di Kanada. Gawat kalau begitu, karena sekarang aku sudah memutuskan akan kuliah di Kanada sebab aku tidak mau melihat pernikahan Riksya dan Chacha.

“Ayo sekarang kamu bangun.. mandi.. dan temuin Riksya,” kata mama sambil memaksaku bangun.

“Riksya?” tanyaku bingung, ngapain dia kesini lagi?

“Iya.. tadi malem dia kan habis dari sini, eh sekarang udah ada disini lagi,” kata mama, sepertinya mama juga sama tidak mengertinya dengan aku.

“Palingan Riksya jemput Naresh, supaya Naresh ke rumahnya buat nolongin dia.”

“Nolongin apa?” tanya mama tidak mengerti.

“Jelasin sesuatu gitu deh,” jawabku sambil beranjak dari tempat tidur dan langsung ke kamar mandi.

Dan tiba-tiba aku ingin menangis lagi. Aduh kenapa sih aku?

Sehabis mandi dan memakai baju aku mencoba mengompres mataku dengan air es agar tidak kelihatan sehabis menangis, tetapi ternyata tidak bisa. Butuh waktu beberapa jam agar mataku terlihat seperti biasa lagi – tidak bisa instant seperti ini.

“Naresh, udah belum mandinya? Kasian Riksya udah lama nungguin,” kata mama dari luar kamarku.

Aku membuka pintu kamar dan meminta mama masuk.

“Ma liat deh mata Naresh,” kataku sambil menunjukan mataku yang bengkak.

“Udah biarin aja, lagian kamu sih kenapa pake nangis segala?”

“Ayo, kasian Riksya udah nungguin dari tadi,” kata mama sambil menarikku agar segera menemui Riksya.

“Tapi Naresh gak bisa nemuin Riksya dengan mata sembab seperti ini, apalagi kalau nanti ketemu Mamanya,” kataku sambil berusaha menolak permintaan mama untuk segera menemui Riksya.

“Udah gak apa-apa..” mama meyakinkanku. Namun aku masih saja menolak.

“Biar urusan kamu dan Riksya cepet selesai, lagian kamu gak ada waktu lagi kan buat ketemu sama Riksya?” mama masih saja menarikku agar segera menemui Riksya.

“Kan masih bisa ketemu di pengadilan, lagian udah gak ada yang harus dibicarain lagi kok.. Mama tolong bilangin deh sama Riksya ketemu orangtuanya besok aja sesudah keputusan dari pengadilan.. bilang, Naresh janji Naresh pasti nolong dia buat jelasin semuanya,” kataku pada mama. Setengah memohon.

“Pasti besok kamu sibuk banget.. ketemu temen-temen kamu.. sodara.. ngecek barang-barang yang mau dibawa.. udah mending sekarang aja.. kasian Riksya udah jauh-jauh kesini.”

Akhirnya walaupun sedikit malas, aku menemui Riksya juga.

“Kak Riksya kok gak bilang-bilang kalau hari ini ketemu orangtua kak Riksyanya,” protesku.

“Kan dari tadi malem – malah waktu kita masih di PS – aku udah bilang kalau hari ini aku mau kesini.. lupa ya?”

Emang bilang ya? Kok aku nggak ingat?

“Udah yo, Resh.. berangkat sekarang aja soalnya takut keburu siang,” ajak Riksya.

Setelah berpamitan dengan mama dan mengakali mataku dengan make-up agak tidak terlalu sembab dan bengkak akhirnya kami berangkat.

“Mampir di MC’D dulu ya.. soalnya kita kan belum sarapan,” kata Riksya ketika kami melewati jalan pajajaran.

“Harusnya tadi kita sarapan dulu dirumah,” protesku.

Riksya tidak menjawab, ia malah memutar balik mobilnya kejalur kanan.

“Eh.. ada hokben juga ya?” tanyanya padaku, padahal tanpa aku jawab pun harusnya dia tahu karena jelas-jelas disamping kiri kami berdiri bangunan Hoka Hoka Bento.

“Makan di hokben aja ya biar kenyang,” katanya sambil membelokan mobilnya ke dalam gedung Hoka Hoka Bento.

Setelah memesan makanan kemudian kami duduk di pojok di dekat jendela kaca, aku sebenarnya yang memilih tempat tersebut sebab itu tempat duduk favoritku, aku bisa melihat keluar dan mengamati orang yang berlalu lalang di jalan.

“Akhirnya kita benar-benar sama seperti Nick dan Jessica ya?” kata Riksya membuka pembicaraan.

Aku menatap Riksya tak mengerti.

“Iya.. akhirnya benar-benar seperti mereka.. menikah.. punya acara reality show.. dan akhirnya bercerai,” lanjutnya.

Aku hanya tersenyum. Hambar.

“Aku tahu pada akhirnya kita akan bercerai tapi aku tidak mengira akan secepat ini,” kata Riksya sambil menatapku dan memakan makanannya.

“Hanya tiga bulan..” Riksya menggelang-gelangkan kepalanya sedangkan aku terus-terusan diam. Aku tidak tahu harus berkata apa.

Selama makan di Hoka Hoka Bento ini aku hanya diam, terkadang aku hanya mengangguk atau menggelang menjawab pertanyaan dari Riksya, atau pura-pura tersenyum ketika Riksya mencoba untuk mencairkan suasana dengan beberapa lelucon.

“Kamu masih gak enak badan ya?” tanya Riksya ketika kami sudah selesai makan dan menuju parkiran.

Lagi-lagi aku hanya menggelang, tidak berkata apa-apa.

“Kok dari tadi diem aja?” tanya Riksya lagi.

“Lagi puasa ngomong ya?” godanya.

Aku hanya menarik bibirku, berusaha agar terlihat seperti tersenyum.

“Mas Riksya ya?” tiba-tiba tiga orang ibu-ibu menghampiri kami.

“Eh sama Mbak Naresh juga,” tambah salah seorang dari mereka sambil melirikku.

“Wah saya seneng banget nonton acara My Idol = My Husband,” kata ibu-ibu yang memakai baju merah.

“Iya kami seneng banget nontonnya, tapi sayang tayangannya udah selesai dan sekarang kalian malah mau bercerai,” tambah ibu-ibu yang lumayan gemuk yang sukses membuat aku dan Riksya speechless.

“Eh, udah mau bercerai masih pergi berdua, jangan-jangan tidak jadi bercerai ya?” tanya ibu-ibu yang satunya lagi, persis ibu-ibu gosip.

Riksya melirikku.

“Iya ngapain sih bercerai? Kalian berdua kan cocok banget, lagian perceraian itu sesuatu yang dibenci Allah,” kata ibu-ibu yang memakai baju merah. Aduh, mulai bawa-bawa agama nih, gawat, batinku dalam hati.

“Ibu maaf ya, tapi kami buru-buru,” kataku sambil menarik Riksya menuju mobil.

“Eh, sebentar..” tahan mereka berebutan, takut kami keburu pergi.

“Kenapa lagi ibu?” tanya Riksya ramah.

“Kita pengen foto bareng.”

Lalu ketiga ibu-ibu itu mengeluarkan handphone mereka yang berkamera, dan kami dipaksa berpose semanis mungkin dengan mereka.

“Ada-ada saja,” kata Riksya ketika kami sudah berada di dalam mobil dan berbalik arah, menuju jalan tol.

“Ngapain bercerai? Kalian berdua kan cocok banget, lagian perceraian itu sesuatu yang dibenci Allah,” kata Riksya sambil menirukan suara ibu-ibu tadi yang cempreng banget karena melihat aku yang diam saja tidak menanggapinya.

Aku mencoba untuk tidak tertawa, tetapi tidak bisa sebab tingkah Riksya sangat konyol.

“Akhirnya tertawa juga,” kata Riksya puas. “Nah, bagusan begitu kan, daripada diem dan cemberut terus,” tambahnya.

Setelah itu Riksya terus-terusan berkelakuan sangat konyol sehingga aku tidak henti-hentinya tertawa dan sejenak melupakan kesedihanku.

“Lho.. Kak, kok kesini?” tanyaku, ketika tiba-tiba aku menyadari kami sedang menuju ke arah Depok bukan ke rumah orangtuanya Riksya yang di Lenteng Agung. Harusnya kalau mau ke rumah orangtuanya Riksya berbelok ke arah kanan bukan lurus seperti ini.

“Ngejelasinnya di rumah kak Riksya ya bukan di rumah Mama?” tanyaku lagi.

Riksya tersenyum sekilas kemudian mengangguk. Dalam hati aku bertanya, apanya yang lucu, sampai-sampai Riksya harus tersenyum seperti itu.

“Ya udahlah sama aja,” kataku akhirnya.

Seperti tadi malam, Mbok Nah yang membukakan kami pintu dan menyuguhi aku secangkir teh manis hangat.

“Tunggu aja ya Resh, keluarga aku masih di jalan,” kata Riksya sambil meninggalkan aku sendirian di ruang tamu.

“Kak Riksya mau kemana?” tanyaku seolah tidak rela ditinggalkan Riksya sendirian seperti ini.

“Ke atas sebentar.”

Tetapi yang dimaksud sebentar oleh Riksya ternyata sangat lama. Tanpa sadar aku kembali membayangkan rencana pernikahan Riksya dan Chacha dan tiba-tiba aku merasa sedih lagi. Untuk mengenyahkan perasaan sedih itu aku mencoba melihat-lihat halaman depan (dari balik kaca ruang tamu), mengamati foto pernikahan kami yang digantung persis di sebrang sofa yang aku duduki – namun ketika melihat foto pernikahan itu rasa sedihku bukannya hilang malah semakin menjadi. Aku sudah hampir menangis kalau saja Riksya tidak tiba-tiba muncul.

“Sorry ya, Resh, lama,” katanya sambil duduk disebelahku. Ia membawa sebuah bungkusan yang lumayan besar.

“Oya, kamu beneran yakin mau pergi ke Kanada?” tanyanya sambil mendekap bungkusan besar itu.

Aku mengangguk.

“Lama disananya?”

“Kalau betah sih mungkin akan kuliah disana juga.”

“Ya udah ini buat kamu,” katanya sambil memberikan bungkusan itu padaku. “Sebenarnya aku berharap kamu gak jadi pergi…”

“Kenapa?” tanyaku penasaran karena Riksya tak melanjutkan kalimatnya. Dalam hati aku berharap semoga Riksya berharap aku tidak jadi pergi karena tiba-tiba dia menyadari kalau dia sayang aku dan tidak ingin kehilangan aku.

“Soalnya…”

“…aku sayang sama kamu,” aku berharap kalimat itu yang diucapkan Riksya padaku, namun ternyata bukan. Riksya malah berkata, “Biar aku gak usah ngasihin ini buat kamu. Mahal banget tuh, terus keren banget lagi.. jadi tidak rela.”

“Kalau gak rela gak usah dikasihin,” kataku sambil memberikan kembali bungkusan itu.

“Becanda,” kata Riksya buru-buru ketika dia menyadari aku serius menanggapi kata-katanya. “Aku dan Chacha pusing banget tuh mikirin kado apa ya yang cocok buat kamu, sampai ngubek-ngubek seluruh PS akhirnya ketemu juga.”

“Makasih ya, Kak,” kataku tak bersemangat. Chacha.. kenapa harus ngungkit-ngungkit nama Chacha sih?

“Ayo dibuka, kamu pasti suka.”

Dengan malas aku membuka kado yang diberikan Riksya itu (dan Chacha tentunya), dan ketika melihat isinya, tanpa sadar aku berseru, “Wow.. keren banget.” Hadiahnya sebuah laptop. Benar-benar keren.

“Chacha yang punya ide buat ngasih laptop soalnya katanya kalau di luar negri pasti mahasiswanya pake laptop gak pake note book lagi, untung aja ngajak Chacha.”

“Kok malah cemberut? Kenapa? Gak suka? Waktu jaman aku kuliah sih gak semuanya bawa laptop tapi pasti berguna banget kok,” kata Riksya beruntun.

Sebenarnya bukan laptopnya yang jadi masalah tapi Chachanya.. males banget deh. Pasti Chacha sengaja milihin hadiah mahal kayak gini buat nyogok aku, supaya aku beneran serius membantu jelasin ke keluarga Riksya kalau dia bukan orang ketiga dalam pernikahan kami.

“Gak suka ya?” ulang Riksya dengan nada khawatir.

“Suka kok,” jawabku buru-buru. Emang suka, lagian siapa juga yang gak suka dikasih hadiah mahal seperti ini. Tetapi siapa juga yang gak akan sedih kalau hadiah itu dipilihkan oleh orang yang akan menggantikan posisinya, sebuah kado perpisahan untuk mendepaknya keluar.

“Tapi kak Riksya tulus kan ngasihnya?” tanyaku akhirnya.

Riksya mengangguk. “Tapi…”

“Tenang.. aku pasti bantu kak Riksya dan Chacha buat jelasin kalau Chacha bukan orang ketiga dalam pernikahan kita.. aku ngerti kok, pasti kak Riksya dan Chacha ngasih hadiah mahal kayak gini buat nyogok aku kan?” potongku cepat. Aku merasa suaraku agak serak saking sedihnya, tapi mudah-mudahan Riksya tidak menyadarinya.

“Kok Chacha sih? Itu belinya seratus persen pake uang aku, Chacha cuma ngasih ide aja,” protes Riksya.

“Sama aja kali.”

“Beda dong. Lagian buat nyogok apaan sih? Aku tulus kok ngasihnya.”

“Syukur deh kalau tulus ngasihnya dan tidak ada maksud apa-apa.”

“Ya tulus sih tulus, tapi bukan gak ada maksud lho aku ngasih ini sama kamu.”

“Tuh kan.. pasti kak Riksya ngasih aku laptop supaya aku serius ngebujuk keluarga kak Riksya agar bisa nerima Chacha kan?” tanyaku sambil berusaha agar terdengar biasa mengucapkan kata-kata tersebut.

Riksya terdiam.

“Tanpa kak Riksya sogok dengan laptop pun aku pasti akan berusaha bantu kak Riksya dan Chacha,” kataku, dan memang begitu. Walaupun aku menyukai Riksya dan sangat sedih sekaligus tidak rela kalau Riksya menikah dengan Chacha, tetapi aku tidak ingin menjegal hubungan mereka.

Riksya masih terdiam.

“Janji aku pasti bisa yakinin keluarga kak Riksya,” kataku sambil mengacungkan kedua jariku.

“Eh.. kayaknya udah pada dateng deh,” kataku ketika melihat dua buah mobil beriringan memasuki pekarangan rumah Riksya ini.

“Mama.. udah pada dateng.. gawat!” kata Riksya sambil setengah berlari menemui keluarganya.

Aku kembali duduk sendirian di ruang tamu. Sedih, deg-degan, campur aduk.

Setelah hampir lima belas menit baru keluarga besar Riksya itu masuk ke dalam rumah dan menemuiku. Aku tidak mengerti mengapa mereka bergerombol dulu di luar – tidak segera masuk.

Aku menyalami mereka satu persatu – papa-mamanya Riksya, Dudi, mas Raka, mas Riko, mba Tia, mba Astrid, dan anak-anak mereka. Sepertinya Riksya benar-benar serius ingin meyakinkan seluruh keluarganya kalau Chacha bukan perusak pernikahan kami. Setelah berbasa-basi sebentar dengan mereka tiba-tiba Riksya memberi isyarat agar aku mengikutinya, memisahkan diri dari mereka dan ke ruang atas.

Dalam hati aku berpikir mungkin Riksya akan memberikan instruksi bagaimana cara menghadapi keluarganya, apa aja yang harus aku sampaikan agar mereka yakin bahwa Chacha bukan orang ketiga dalam pernikahan kami. Baguslah jadi semuanya akan lebih mudah (tapi tetap saja tidak akan lebih mudah untuk hatiku).

“Keluargaku terlalu cepet datengnya,” kata Riksya ketika kami sudah sampai di lantai atas dan duduk di sebuah sofa panjang (kayaknya sofanya masih baru, sebab dulu sewaktu aku masih tinggal di rumah ini sofa ini belum ada dan lantai atas ini dibiarkan kosong melompong).

“Aku belum sempet bilang apa-apa sama kamu,” lanjutnya.

Aku duduk diam, menunggu apa saja intruksi dari Riksya.

“Aku gak tau harus mulai dari mana,” katanya bingung. Lama Riksya terdiam sampai-sampai aku tidak sabar dan akhirnya berkata, “kalau kak Riksya bingung, biar pake kata-kata aku aja. Aku udah siapin kok apa aja yang harus aku bilang ke keluarganya kak Riksya tentang Chacha. Tenang, pasti berhasil.”

Aku berusaha berkata seceria mungkin dan tanpa beban, padahal dalam hati sedih setengah mati.

“Chacha? Ooo…” kata-kata aku barusan seolah menyadarkan Riksya dari sesuatu.

“Gak usah setegang itu, Kak, pasti berhasil kok,” kataku menenangkannya. Dan tiba-tiba Riksya menatapku, lumayan lama, sampai-sampai aku salah tingkah.

“Udah yo Kak, turun,” ajakku. “Biar semuanya cepat selesai.”

Aku tidak tahan dengan tatapan Riksya yang seperti itu – menghujam, seolah lewat matanya ia dapat membaca seluruh pikiranku.

Karena Riksya masih diam saja, akhirnya aku turun duluan dan menemui keluarganya. Aku sempat bingung bagaimana cara mengumpulkan mereka semua dan mulai menjelaskan mengenai Chacha, namun ternyata mereka yang menghampiriku – aku tidak usah repot-repot meminta mereka berkumpul.

Awalnya aku hanya duduk-duduk di ruang keluarga mengamati kedua keponakanku, anak dari mba Tia dan mas Raka, yang sedang asyik menonton kartun dan ditemani baby sitter-nya. Jujur saja, setelah berbicara dengan Riksya di lantai atas aku tidak tahu harus ngapain, keluarga Riksya mempunyai kesibukan masing-masing. Mamanya dan mba Tia sibuk membantu mbok Nah menyiapkan makan siang, mba Astrid dan mas Riko asyik mengasuh anaknya sambil melihat-lihat ikan yang ada di kolam belakang rumah, Dudi, mas Raka, dan papanya Riksya asyik mengobrol di teras depan. Aku tidak enak menggangu mereka dan meminta mereka berkumpul.

Namun untunglah setelah hampir sepuluh menit aku duduk bengong di ruang keluarga, Dudi menyadari keberadaanku, kemudian dia masuk kedalam menghampiriku yang diikuti oleh mas Raka, papanya Riksya, kemudian yang lainnya – termasuk mba Astrid, mba Tia, mas Riko, dan mamanya Riksya. Mereka seolah tahu kalau aku memang sedang menunggu mereka untuk membicarakan sesuatu.

Bad news apa good news nih?” tanya Dudi ketika semuanya sudah berkumpul.

“Mudah-mudahan kabar baik,” kata mba Tia tanpa menunggu aku menjawab pertanyaan tersebut.

“Kalau buat aku bad news banget,” kataku dalam hati. “Tapi kalau buat Riksya pasti good news.”

“Ayo dong, gimana keputusannya,” kata mamanya Riksya tidak sabar.

Aku menghela napas sebentar, ternyata sulit juga mengungkapkan semuanya.

“Lho.. Riksyanya mana?” tanya mba Astrid, ketika menyadari Riksya tidak ada.

“Masih di atas, tapi nggak apa-apa, Naresh sanggup kok menjelaskan semuanya sendiri.”

Kemudian mereka semua menatapku serius.

“Mungkin kak Riksya sudah menjelaskan ini berkali-kali,” kataku dan mereka semua langsung mendengarkanku lebih serius lagi.

“Mungkin sulit buat Mama dan Papa, mas Raka… semuanya, buat nerima kenyataan bahwa…”

“Kalian akan tetap bercerai?” potong Dudi.

Aku mengangguk. Dan kulihat mereka semua langsung mendesah kecewa.

“Kak Riksya… akan menikah… dengan Chacha,” kataku tersendat. Untunglah aku sanggup juga mengucapkan kalimat tersebut tanpa menangis. (bersambung)

Cerita Sebelumnya:

http://fiksi.kompasiana.com/novel/2014/08/14/novel-janji-naresh-bagian-16-673206.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun