Saat siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) lulus, biasanya banyak tips yang diutarakan berbagai media untuk memilih jurusan yang tepat. Jangan salah pilih karena itu akan mempengaruhi jalan hidup si mahasiswa ke depan. Banyak juga beberapa yang mengulas bagaimana menghadapi masa kuliah yang sangat berbeda dengan suasana SMA.
Membahas masa kuliah saya jadi teringat cerita adik sepupu. Sewaktu lulus kuliah dan mencari perguruan tinggi, saya selalu bawel ke sepupu. Pilih jurusan yang benar-benar disukai dan kita bisa menjalaninya. Jangan sampai memilih jurusan yang membuat kita berat untuk lulus karena tidak suka.
Saat dia memutuskan kuliah di jurusan Kimia. Saya tanya lagi? Yakin mau kuliah dibidang itu? Dia bilang sangat yakin karena dia kuat di bidang eksakta. Selain sering mendapat nilai bagus di mata pelajaran hitung-hitungan, sepupu saya itu juga yakin masa depan seorang lulusan kimia sangat bagus.
Akhirnya setelah tes di sana sini dengan tetap memilih jurusan Kimia, akhirnya ia diterima di perguruan tinggi milik salah satu kementrian di Bandung. Orangtuanya semangat membeli ini itu untuk keperluan hidup sepupu saya di kota kembang tersebut. Kebetulan ia dan keluarga tinggal di Sukabumi.
Belum satu semester usai dilalui, ia sudah mulai mengeluh ini dan itu. Ia juga mulai terlihat malas kuliah. Usut punya usut, setelah ditelusuri oleh ayah dan ibunya ternyata ia tidak mau kuliah lagi di perguruan tinggi tersebut karena mendengar salah satu kakak kelas yang bercerita bahwa ada beberapa angkatan mereka yang berhenti di tengah jalan karena tidak kuat menjalani kuliah di Jurusan Kimia, kakak kelas yang berhasil luluspun katanya tidak begitu saja mudah mendapatkan pekerjaan.
Akhirnya sepupu saya itu kalah sebelum berperang. Setelah semester satu usai ia memilih drop out. Ia menganggur satu tahun dan akhirnya sekarang kuliah di salah satu perguruan tinggi kecil mengambil jurusan Ekonomi di Sukabumi yang status akreditasinya saja belum jelas. Hadeeh bukannya merendahkan perguruan tinggi itu, tapi dibanding perguruan tinggi milik kementrian itu, jelas kualitasnya berbeda.
Sebenarnya itu hidup sepupu saya, hak dia mau dibuat seperti apa hidupnya. Hanya saja saya sangat menyayangkan mengapa ia tidak mencoba sekuat tenaga menjalani kuliah dengan jurusan yang dipilihnya sejak awal. Bila orang lain gagal, kita kan belum tentu? Selain itu, bila ke depan sulit mencari pekerjaan kan bisa diupayakan. Sulit buat orang, belum tentu sulit buat kita.
Selain cerita DO sepupu saya, ada lagi satu cerita DO karena hal kecil. Saat masih mengajar di salah satu kampus di Batam, saya sempat mengobrol dengan calon mahasiswa yang mendaftar. Saya lupa namanya hanya saja ia bercerita bila sebelumnya ia pernah kuliah di salah satu kampus swasta di Jakarta. Kampusnya lumayan bagus. Uang masuknya juga bisa membeli satu buah mobil, atau mungkin minimal DP mobil karena sudah mencapai angka puluhan juta.
Saat saya tanya, mengapa mengundurkan diri dari kampus tersebut? Dengan entengnya ia menjawab. Saya tidak punya teman disana. Orang Jakarta tidak mau berteman dengan saya yang dari pulau. Saya rasa bukan orang Jakartanya yang tidak mau berteman mungkin dia yang tidak mau membuka diri.
Saya cuma gelang-gelang kepala, sayang orangtua sudah mengeluarkan uang banyak agar anaknya mendapatkan pendidikan yang bagus, namun disia-siakan oleh sang anak karena hal-hal sepele seperti itu. Padahal diluar sana, ada banyak calon mahasiswa yang mungkin ingin berkuliah di tempat sepupu dan mantan mahasiswa saya itu. Namun karena biaya atau hal lain tidak dapat mewujudkan impian tersebut. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H