Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merdeka! Bernarkah Kita Sepenuhnya Merdeka?

17 Agustus 2014   15:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:20 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini Minggu, 17 Agustus 2014 merupakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke-69. Bila diibaratkan dengan manusia, angka tersebut merupakan angka dewasa. 69 merupakan angka ulang tahun yang cukup matang.

Bila dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia lebih dulu merdeka 12 tahun. Malaysia baru merdeka dari Inggris pada 31 Agustus 1957. Bila dibandingkan dengan Singapura, Indonesia bahkan jauh lebih lama merdeka, bedanya mencapai 20 tahun kurang beberapa hari. Singapura merdeka dari Inggris pada 9 Agustus 1965.

Namun mengapa Malaysia sudah sukses menciptakan mobil Proton, yang bahkan sudah melenggang di jalan raya Indonesia lengkap dengan showroom resminya. Singapura juga sukses dengan berbagai jenis rumah sakit yang kerap menjadi andalan orang-orang kaya Indonesia untuk menyembuhkan diri.

Mengapa dalam beberapa hal kita jauh tertinggal dengan negara-negara tersebut padahal kita lebih dulu merdeka? Bahkan dengan Jepang yang menjelang beberapa hari negara kita medeka, tanah air negeri Nippon tersebut dijatuhi bom nuklir yang meluluhlantakan hampir seluruh negeri.

Seharusnya dengan kondisi fisik negara kita yang lebih baik pada tahun 1945 dibanding Jepang, kita menjadi negara yang lebih maju. Namun mengapa Jepang cepat bangkit, bahkan sukses memproduksi berbagai barang elektronik dan otomotif, mulai dari kulkas, televisi, telepon selular, motor, hingga mobil? Apa karena mereka dulu penjajah sementara kita negara terjajah?

Menurut saya ada benarnya juga pendapat beberapa orang pintar di luar sana. Kita terbiasa dididik untuk menikmati/menganalisa suatu produk, bukan dididik untuk menciptakan. Sejak duduk di sekolah dasar kita dididik untuk menganalisa/memparafrasa/membuat resensi suatu puisi/novel/cerita pendek/dongeng/drama, tidak diminta untuk membuat.

Padahal apa salahnya meminta anak SD membuat cerita dongeng hasil kreasi mereka. Misalkan dongeng sederhana untuk pengantar tidur. Atau diminta membuat cerita sehari-hari yang layak dikategorikan sebagai cerita pendek. Biasanya dulu saat saya SD, saya hanya diminta untuk membuat cerita jenis narasi/deskripsi/dll yang menceritakan tentang kegiatan saat liburan sekolah tanpa jelas plot, setting, tokoh, dll yang seharusnya ada dalam sebuah cerita.

Begitupula saat saya duduk di bangku kuliah – kebetulan saya mengambil Jurusan Sastra. Tidak pernah sekalipun dosen kami meminta membuat puisi/drama/prosa sebagai bahan penilaian. Mereka biasanya meminta kami membuat pertunjukan dari drama yang sudah terkenal atau mengkritisi karya dari pengarang terkenal. Eh, tapi saya tidak tahu ya kalau kondisi sekarang? Mungkin sudah ada dosen/guru yang meminta siswa/mahasiswa membuat karya tertulis seperti itu.

***

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Merdeka salah satunya didefinisikan tidak terikat, tidak bergantung kpd orang atau pihak tertentu; leluasa. Namun benarkah kondisi di Indonesia sudah seperti itu sepenuhnya? Khusus untuk Batam ada beberapa hal yang menurut saya belum sepenuhnya merdeka.

Salah satunya orangtua yang memiliki anak kecil. Saat masuk SD mereka tidak leluasa memasukan anak mereka – terutama, ke sekolah negeri. Mereka harus menunggu usia anak mereka tepat tujuh tahun agar bisa masuk ke SDN. Bila kurang – meski anak tersebut sudah siap sekolah – tidak bisa begitu saja masuk SD negeri.

Kalaupun memaksakan masuk harus membayar nominal uang tertentu. Ada tetangga saya yang mengeluarkan uang Rp500 ribu karena umur anaknya hanya kurang beberapa bulan saat masuk SD negeri. Ada juga beberapa tetangga yang akhirnya memilih memasukan anaknya ke sekolah swasta dengan konsekuensi membayar biaya sekolah lebih mahal, atau memasukan anaknya ke Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang ada dibawah naungan Kementrian Agama, ada juga yang memilih menunggu tahun depan yang itu berarti usia anaknya kelak hampir 8 tahun.

Saat ini Dinas Pendidikan Kota Batam sedang mengusut dugaan pungli yang ada di salah satu SDN di Kota Batam. Sekolah tersebut diduga meminta bayaran hingga Rp2 juta bagi setiap anak yang usianya kurang dari 7 tahun saat masuk ke sekolah tersebut, meski kurangnya hanya beberapa bulan.

Padahal terkait persyaratan berapa usia anak boleh masuk SD, tidak ada ketentuan resmi dari Pemerintah Kota Batam. Itu berarti, seharusnya setiap anak yang sudah siap sekolah, dapat leluasa mendaftar. Hanya saja karena tidak seimbangnya jumlah calon siswa SD dengan sekolah negeri yang ada di Batam akhirnya ada pembatasan seperti itu.

***

Tadi subuh saat bangun tidur, saya sempat merenung bahwa kita memang belum sepenuhnya merdeka dari penjajahan asing. Kita “terpaksa” masih menggunakan produk-produk asing karena belum memiliki substitusi produk tersebut. Contohnya produk otomotif seperti motor dan mobil. Kita terpaksa menggunakan Honda, Suzuki, Yamaha dll karena belum ada produk otomotif Indonesia yang diproduksi secara masal dan dapat kita beli dan gunakan. Dulu ada mobil Timor, tapi saat ini sudah tidak lagi di produksi.

Begitupula dengan susu formula untuk bayi, yang bahkan SGM yang dulu milik perusahaan Indonesia kini sudah dimiliki oleh asing. Air minum kemasan juga demikian. Batam sebenarnya sudah memiliki produk air kemasan lokal, yakni Sanford, hanya saja air bersih yang mereka gunakan tetap saja berasal dari perusahaan pengelola air bersih yang setengah asing. Yup, setengah saham PT. Adhya Tirta Batam merupakan milik Sembawang Corporation, yang notabene milik Singapura.

Mudah-mudahan ke depan, akan ada banyak anak negeri yang terpanggil untuk menciptakan produk asli Indonesia sehingga ketergantungan dengan produk asing akan berkurang. Selain itu, mudah-mudahan orang Indonesia juga lebih mencintai produk Indonesia. Bila ada substitusinya lebih memilih produk buatan dalam negeri. Semoga! (*)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun