Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lebih Bijak Memilih Nama Anak

28 Januari 2015   01:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:15 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Nama anak sepertinya menjadi konsen tersendiri bagi beberapa negara. Arab Saudi misalkan melarang beberapa nama untuk disematkan kepada bayi yang baru lahir dengan beberapa alasan. Berita lengkapnya dapat dilihat pada link terlampir: http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/14/03/15/n2ggsr-ini-50-nama-yang-dilarang-di-arab-saudi

Begitupula di Prancis, berdasarkan artikel yang dirilis cnn.indonesia.com, pengadilan Prancis mengubah nama salah satu anak karena si orangtua memberi nama sang anak dengan nama yang berpotensi membuat si anak tidak nyaman. Berita lengkapnya dapat dibaca pada link berikut:http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150127164842-140-27745/perancis-larang-nutella-jadi-nama-anak/

Meskipun Shakespeare mengatakan Apalah Arti Sebuah Nama, saya merasa nama memberi peran penting bagi seseorang. Apalagi nama juga akan dipakai seumur hidup. Identitas sepanjang masa. Bahkan kalau kepercayaan di agama saya – Islam, nama akan berpengaruh saat kita dipanggil di yaumul akhir untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kita di dunia.

Setiap orangtua pasti akan memberikan nama terbaik bagi sang anak – meski mungkin terbaik versi mereka. Terkadang nama pilihan orangtua tersebut disukai sang anak, terkadang juga tidak. Apalagi mungkin bila si anak sudah besar dan berinteraksi dengan orang dari berbagai latar belakang.

Terkadang mungkin merasa, nama saya kok tidak keren. Saya jadi teringat cerita VJ MTV asal Thailand saat saya masih sekolah dulu - Uttsada Panichkul. Dia merasa tidak nyaman dengan nama tersebut dan protes kepada orangtuanya. Akhirnya sebagai jalan tengah, sang ibu menyuruh Utt untuk memilih nama yang ia sukai sebagai panggilan. Lalu terpilihlah nama Greg. Meski belakangan sepertinya ia kembali memilih untuk dipanggil dengan nama sebenarnya.

Begitupula dengan saya. Orangtua memberi saya nama Cucum Suminar – Sunda banget. Gara-gara nama tersebut dulu saya sering disangka ibu-ibu berusia 50 tahunan. Hal tersebut mungkin dikarenakan umumnya nama Cucum diberikan kepada anak seumuran ibu saya =p. Namun nama adalah doa dari orangtua. Meski sempat tidak nyaman, akhirnya suka juga dengan nama tersebut.

Saya sepertinya sedikit beruntung. Meski nama saya tidak lazim diberikan kepada anak yang lahir tahun 1980-an, namun tetap terdengar umum. Saat googling di Google ternyata banyak juga yang bernama Cucum Suminar. Adik kelas saya di SMA bahkan ada yang namanya persis sama dengan saya. Terkadang beberapa teman SMAnya ada yang salah alamat mengajukan pertemanan di jejaring sosial dengan saya – bukan dengan adik kelas saya itu.

Saat masih mengajar di perguruan tinggi di Kota Batam, dulu ada mahasiswa saya yang bernama Helm. Saya tahu saat mengabsen. Saya agak ragu-ragu saat memanggil mahasiswa tersebut. Namun saat dipanggil ternyata ada yang mengacungkan tangan. Melihat saya yang agak bingung, mahasiswa tersebut mengatakan, bukan saya yang salah, bukan absennya juga yang salah. Nama dia memang Helm – hanya Helm tidak ada embel-embel lain. Hal itu dikarenakan saat membuat akta lahir, si pencatat salah menuliskan nama. Karena orangtuanya malas mengurus, akhirnya ia seumur hidup menyandang nama Helm, meski sehari-hari ia dipanggil dengan nama Helen. Hadeeh, kasihan ya!

Kalau teman kantor ada yang namanya (maaf) alat kelamin perempuan M****. Entah mengapa orangtuanya memberi nama itu. Apalagi dia laki-laki. Mungkin ada arti tersendiri yang kita tidak tahu. Beruntung teman kantor itu memiliki nama panjang, sehingga kami lebih memilih memanggil dia dengan nama belakangnya, bukan nama depan.

Ada lagi teman saya yang namanya Lilis Suryani. Saat awal masuk ia dipanggil Lilis, namun entah mengapa seiring waktu ia tidak mau lagi dipanggil dengan nama itu. Ia selalu menyebut dirinya dengan nama Lily. Beberapa teman ada yang kepo dan tetap memanggil dia dengan nama Lilis =D.

Begitupula dengan teman saya yang namanya Lela. Entah kenapa teman saya semasa berseragam putih biru itu lebih nyaman dipanggil Della. Bila ada teman SD dia yang manggil Lela, mukanya langsung cemberut. Ia juga tidak mau merespon bila mdipanggil dengan nama lahirnya.

Berkaca dari pengalaman tersebut saya sebisa mungkin memberikan nama terbaik bagi anak saya. Meski begitu, saya juga tidak tahu apakah kelak anak saya suka dengan nama yang saya pilihkan. Entahlah! Namun satu hal, apapun alasannya, orangtua pasti sudah memilihkan nama terbaik bagi kita. Jadi banggalah dengan nama tersebut.

Sebaliknya sebagai orangtua ada baiknya berpikir panjang memilihkan nama bagi anak. Jangan sampai kelak anak kita tidak nyaman dengan nama tersebut. Sebelum menyematkan nama kepada anak, mungkin ada baiknya mencari-cari dulu melalui mesin pencari, khawatir ada arti negatif dari nama yang kita pilihkan. Ah, Salam Kompasiana! (*)

Kota Batam

Selasa, 27 Januari 2014

Pukul 18:08 WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun