Sejak kecil saya akrab dengan permainan ini, congklak, nama permainannya, merupakan salah satu permainan anak-anak ( kaulinan barudak) di tatar Sunda, tapi saya yakin di daeeah lain di Indoneasia pun ada hanya namanya saja yang berbeda. Di Jawa dikenal dengan congklak atau dakon, di Sumatra disebut congkak, di Sulawesi makaotan, manggaleceng, Anggalacang, dan Nogarata, dalam Bahas Inggris disebut Mancala.
Permainan ini akrab dengan anak-anak, dimainkan kebanyakan oleh anak perempuan, tapi anak laki-laki pun bisa memainkannya.
Alat permainan bisa dibuat dari berbagai bahan, bisa kayu atau bahan plastik yang dibentuk menyerupai perahu berbentuk oval agak panjang kira-kira 40 sampai 50 cm tergantung banyaknya lobang, sisi kanan kirinya dilubangi untuk menyimpan biji congklak berupa batu atau biji-bijian yang sudah dikeringkan, bisa juga cangkang kerang. Lubang dibuat sebanyak tujuh lubang, ada juga yang Sembilan atau empat belas, ditambah satu gunung di ujung untuk masing-masing pemain. Tiap lubang diisi dengan biji congklak batu atau biji- bijian sebanyak tujuh buah, kecuali gunungnya dibiarkan kosong untuk menampung pendapatan si pemain, seperti lumbung atau gudang penyimpanan, kalau jaman sekarang gudang, bahkan bank. Apabila tidak ada papan congklak kita bias bermain dengan cara melingkari tanah menyerupai papan congklak, atau bias juga dengan menggali tanah dengan lobang-lobang kecil menyerupai papan congklak.
Pernainan ini dimainkan oleh dua orang, tapi bisa jjuga dimainkan secara masal atau group dengan beberapa papan congklak. Pemain berhadapan menghadap papan congklak, cara bermainnya si pemain A memindahkan batu/biji dengan memasukkannya ke tiap lobang dan gunung miliknya, apabila batu terakhir jatuh pada lubang yang masih berisi batu/biji congklak maka permainan dilanjutkan terus dan terus sampai batu habis, dan terus berlangsung hingga batu terakhir habis, jika batu terakhir habis pada lubang yang kosong maka ia dapat menembak (istilah permainan) lubang yang ada diseberangnya, berapapun isi batunya, maka permainan beralih giliran pemain B, apabila batu terakhir jatuh pada gunung maka pemain A boleh melanjutkan permainan dengan mengambil batu yang ada di lubang mana saja di sisi pemain A, dan apa bila batu berakhir pada lubang yang kosong maka giliran pemain B yang bernain, selanjutnya B bermain seperti pemain A.
Setelah batu semua habis, batu-batu yang ada di gunung masing-masing dipasangkan pada setiap lubang di sisi A untuk pemain A dan di sisi B untuk pemain B, apabila salah satu pemain mendapat batu lebih banyak di gunung dari yang harus diisikan yaitu tujuh batu pada setiap lobangnya, sudah pasti pemain lain ( pemain B) pecong( istilah lobang yang tidak kebagian batu ditutup dengan daun atau sampah), siapa yang terisi semua maka pemain itu yang memulai permainan.
Permainan congklak ini mengandung unsur pendidikan yang kaya akan nilai-nilai karakter. Mengapa dikatakan sarat nilai? Permainan ini permainan anak dari zamaan dahulu yang memberi nilai pendidikan bagi anak-anak kampung, di antaranya permainan ini mengajarkan agar kita jujur, karena ketika pemain menyimpan batu ke dalam lobang yang berisi batu, orang lain atau lawan main tidak melihat jumlah batu yang digenggam, tidak melihat apakah benar-benar menjatuhkannya ke dalam lubang yang berisi batu atau pura-pura saja, hal ini mencegah prilaku curang, mencuri atau korupsi. Permainan ini juga mengajarkan pada anak bagaimana taat dan patuh akan aturan, aturan permainan yang dijalankan, tidak ada yang membantah, dan aturana ini disepakati bersama, serta membiasakan sabarmenunggu giliran, selain itu melatih berhitung juga, belajar menabung di lumbung atau gunung, dan belajar berusaha semaksimal mungkin.
Ketika anak-anak selesai bermain tidak ada yang bertikai, semua pihak menyelesaikan permainan dengan senang hati, dan menerima apaun keadaan mereka, si Pecong menerima kenyataan memang keadaannya begitu, dan itu suatu saat akan berubah, dengan kegiliran pecong tergantung permainan yang masing-masing mainkan.
Ini sebagian saja nilai atau pelajaran yang bisa diambil dari permainan anak berupa congklak, masih banyak lagi nilai moral yang bias diambil sebagai pelajaran dan pendidikan dalam berbagai permainan anak-anak di pedesaan yang memiliki nilai pendidikan dan pembentukan karakter, oleh karena itu sebaiknya permainan-permainan tradisional ini dilestarikan dan tetap dikenalkan kepada anak-anak disamping permainan atau game-game modern yang tersebar di media online, agar karakter anak Indonesia tetap terbangun dengan mencintai budaya tradisional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H