Kenyataan tidak tersangkal bahwa masyarakat kita merupakan komunitas multikultural yang terajut dalam visi besar; keindonesiaan. Dan Islam sebagai agama mayoritas memiliki andil –sekaligus--problem terhadap munculnya segala persoalan sosiologis berbasis agama. Persoalan ini semakin meruncing manakala Islam semakin kehilangan ruang dialektis dengan anasir kekinian. Realitas ini termanivestasi dalam komunitas-komunitas Islam radikal sebagai wujud resistensi. Lantas dimanakah wajah multikuralisme (baca; kebhinekaan) kita?
Problem besar dalam masyarakat multikultural akan bermunculan manakala terjadi otorisasi mayoritas dalam bidang apapun, tidak terkecuali agama. Dalam konteks Indonesia, Islam sebagai agama dengan penganut terbesar (mayoritas) perlahan telah berubah menjadi “monster sosiologis” yang siap menerkam apapun yang tidak sesuai dengan esensi ajarannya. Monster-monster itu mewujud dalam bentuk institusi atas nama amar makruf nahi munkar. Tetapi dalam praktiknya, justru menghadiahkan watak anarkistik yang tidak sesuai dengan jalan terang multikulturalisme.
Telah banyak contoh dan terlalu menghabiskan energi apabila kita mengulas satu per satu. Publik pun semakin cerdas dan mampu membuat formulasi cantik bagaimana menjalankan keyakinan (agamanya) di tengah masyarakat multikultural. Dan dengan didasari keprihatinan mendalam terhadap geliat anarkis atas nama agama, saya mengajak saudara, teman, kerabat, atau siapapun (yang Islam) melakukan otokritik secara sosiologis. Artinya, mari kita meletakka kesadaran bahwa Islam memang berada di dalam perjamuan besar multikulturalisme.
Ini merupakan perjamuan yang tidak akan pernah selesai selama NKRI berdiri dan memegang teguh visi; Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu, Islam harus cerdas memetamorfosis dirinya menjadi sosok “agama” yang paling dekat mengaktualisasikan semangat “berbeda itu indah”. Namun sayangnya, sebagian besar pemeluk Islam kita adalah figur skripturalis yang jauh dari semangat kontekstualisasi esensi ajaran Islam. Kalau pun ada kontekstualisasi tidak dalam rangka harmonisasi perbedaan tetapi penggayangan perbedaan.
Multukuturalisme pun semakin compang-camping dan membingungkan publik secara luas. Contoh gampang, katanya masyarakat menghormati perbedaan tetapi mengapa kaum Kristiani di Bekasi sulit mendirikan tempat ibadah? Juga mengapa masih muncul komunitas radikal yang sering melakukan ‘dialog-anarkis’ ketika menyampaikan gagasan? Islam pun akhirnya mendulang stigma kurang sedap sebagai agama penyebar aksi kekerasan dan teror.
Jujur saja, ini adalah ulah diri kita sendiri sebagai umat Islam. Oleh karena itu, di tengah gelombang multikultural selayaknya kita menjalankan tata perkehidupan beragama secara proporsional. Proporsi merupakan pintu utama terbukanya dinamisasi dan harmonisasi di tengah segala perbedaan. Dan menurut saya, kejayaan Islam di Indonesia ini akan terjadi manakala kita mampu menjalankan Islam secara proporsional di tengah dialektika multikultural.
Saya mengundang Anda berdiskusi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H