Saya kaget! Dan mungkin jagad literasi nasional prihatin mendengar kabar ini. Di tengah gencarnya kegiatan literasi di kalangan pendidik demi menciptakan insan pendidik yang inovatif, cerdas dan kritis, masih ada saja sikap ironi yang dilakukan kalangan pendidik sendiri. Para pegiat literasi di Jawa Timur, khususnya Kabupaten Tulungagung mestinya berduka dengan aksi "pembredelan" salah satu majalah pendidikan di sana. Majalah yang sudah ber-ISSN dan telah terbit selama lima tahun mendadak dibredel oleh pengurus PGRI periode baru.
Terlepas dari 'aksi politik' dalam konteks suksesi pengurus, pembredelan majalah atau media massa mengingatkan saya pada peristiwa lama bangsa ini. Dimana rejim yang berseberangan haluan bakal membredel media publik yang dianggap membahayakan tampuk kekuasaan. Aksi bredel, pembakaran buku-buku yang dianggap merugikan 'penguasa' semakin liar dilakukan kala itu.
Namun kabar yang saya dengar dari Tulungagung ini berbeda. Salah satu majalah pendidikan hasil kreasi dan inovasi para pendidik di sana selama lima tahun dan sudah diakui Perpusnas (ber-ISSN) telah dihentikan penerbitannya alias dibredel pengurus baru. Penulis mencoba mencari alasan penghentian tersebut, ternyata tidak ditemukan penyebab yang signifikan. Perlu diketahui, jika saya amati isi majalah tersebut merupakan ajang berbagi gagasan berupa tulisan antar pendidik di kabupaten tersebut.
Ini sungguh ironis. Di tengah hebatnya pemerintah mendorong agar pendidik berliterasi, mengasah kemampuan menulis, tindakan anti literasi justru muncul dari internal pengurus PGRI Kabupaten Tulungagung, yakni membredel majalahnya sendiri. Jika persoalannya dianggap ada "salah kelola" mestinya dilakukan perbaikan bukan mencabut hingga akar (baca: membunuh). Jujur, saya merasa kasihan dengan bapak dan ibu guru yang selama lima tahun terakhir ini mengasah kemampuan menulis di majalah tersebut.
Sikap anti literasi para pengurus baru PGRI Kabupaten Tulungagung ini harus dikecam semua pegiat literasi. Karena mematikan ruang cerdas ajang guru menulis yang selama ini telah berjalan baik. Dan saya rasa, sebuah media massa telah lima tahun terbit secara rutin, tentu telah memiliki manajemen (baca: modal) yang baik. Tinggal bagaimana merawat dan membuat semakin tumbuh menjadi wahana berbagi kreatifitas.
Kembali pada persoalan pembredelan, menurut saya, seluruh pegiat literasi secara nasional selayaknya menyayangkan "aksi bredel" ini. Para guru menjadi kehilangan ruang untuk berbagi gagasan akibat sikap arogan segelintir orang (yang juga pendidik). Tidak hanya itu, stakeholder pendidikan di Tulungagung juga harus bertindak karena sikap anti literasi ini jelas bertentangan dengan spirit pendidikan secara nasional.
Dan, kepada Pengurus Besar PGRI Pusat, sepatutnya juga mengecam aksi bredel ruang literasi di jajaran kepengurusannya di tingkat kabupaten ini. Memang wahana berliterasi tidak hanya menulis di media massa, namun keberanian dan kerja keras menciptakan dan merawat media massa hingga lima tahun berjalan dan ber-ISSN, itu yang patut kita semua acungi jempol.
Jujur, saya khawatir, aksi bapak/ibu pengurus baru PGRI, akan merembet ke tindak kontra produktif lainnya. Jika ini terjadi, preseden buruk dunia literasi di Tulungagung kian kuat. Yang saya sayangkan, sikap pembredelan ini -sekali lagi- bertentangan dengan spirit pendidikan nasional.Â
Suksesi kepemimpinan adalah hal wajar atau biasa, tapi pemberangusan produk yang bervisi kreativitas adalah tindakan sangat tidak patut dilakukan, apalagi oleh kalangan pendidik yang meninggikan derajat literasi.
Mencermati fenomena pendidikan yang terjadi di Tulungagung ini, PB PGRI pusat dan sahabat-sahabat saya, pegiat literasi harus bertindak. Semoga, sikap anti literasi ini tidak berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H