Tahun ajaran baru sekolah 2014-2015 baru saja dimulai awal pekan ini, ditengah-tengah bulan Ramadhan 1435 H. Momen penuh berkah ini semata-mhanya takdir Allah, SWT.
Semoga belumlah terlambat untuk mengucapkan Selamat Datang Tahun Ajaran Baru. Bahagia rasanya menyaksikan antusias segala yang berhubungan dengan awal proses pengajaran yang menjanjikan harapan generasi masa depan yang cemerlang.
Murid baru yang begitu riang bakal bertemu dengan teman-teman baru; orang tua yang bahagia untuk pertama kalinya mengantar sang anak ke sekolah dengan segala perlengkapan sekolah yang baru pula. Tak ketinggalan guru-guru yang memiliki harapan tak pernah padam menyambut anak didiknya hingga suatu saat dapat mengantarkan jalan kesuksesan bagi para muridnya.
Ada sisi menarik dari fenomena ini. Tahun ajaran baru sekolah biasanya, bahkan sudah menjadi tradisi bagi para orang tua untuk menyediakan dana yang besar bagi sang anak untuk menyiapkan investasi pendidikan yang akan menentukan masa depan si buah hati nantinya. Bagi mereka yang dikategorikan the have mungkin hampir tak ada masalah keuangan demi sang anak mendapatkan sekolah yang terbaik.
“ Biaya masuk SD sekarang setara harga motor baru,” begitu kata kawan saya, yang baru mendaftarkan anaknya di sekolah swasta. Situasi ini linear dengan banyaknya alternatif pilihan sekolah. Negeri atau swasta, biaya subsisdi sampai dengan jalur non subsidi.
Khususnya di kota-kota besar, banyak lembaga pendidikan menawarkan sekolah bagi sang anak yang biayanya membuat banyak orang awam terkejut. Tidak masuk logika menurutnya. Sekolah tersebut memiliki gedung belajar yang mewah yang dilengkapi dengan sarana pendidikan yang mutakhir, guru-guru yang berkompeten hasil seleksi super ketat, dan menjalin kerjasama dengan lembaga pendidika baik di dalam dan di luar negeri untuk meningkatkan mutu pendidikannya.
Fenomena membangun sekolah swasta unggulan semakin marak setelah pemerintah melakukan liberalisasi di bidang pendidikan 10 tahun terkahir. Pemerintah sepertinya angkat tangan untuk memonopoli sekolah untuk seluruh warganya. Dana 20 persen APBN pun dirasa belum mencukupi. Oleh karena itu pemerintah membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi investasi swasta untuk menyediakan jasa pendidikan. Contoh saja grup Lippo dengan sekolah Pelita Harapan, Grup Ciputra membangun sekolah Ciputra. Sebelumnya sekolah Al Azhar milik Grup BSD. Di Makassar, Kalla Grup telah tenar sekolah Islam Athirah, dan masih banyak lagi.
Para investor pendidikan tersebut mendirikan lembaga pendidikan dengan model berstandar internasional, beberapa komponen tersebut adalah kurikulum dan proses belajar mengajar, administrasi dan manajemen sekolah yang solid, organisasi dan kelembagaan sekolah, sarana dan prasarana, lingkungan dan kultur sekolah, dan sebagainya.
Tentu duit yang ditanam sangatlah besar, akibatnya biaya pendidikan di sekolah-sekolah tersebut sangat mahal. Kemudian terjadi pro-kontra bahwa sekolah-sekolah tersebut melakukan komersialisasi pendidikan, karena pada saat bersamaan banyak sekolah yang jauh dari harapan baik dari aspek fisik maupun mutu kompetensinya. Miris memang dan rasanya mau menangis melihat tidak meratanya kuaitas pendidikan di negara kita.
Namun kita tetap harus selalu posistif. Menurut saya pribadi tidak menjadi persoalan apabila ada sekolah swasta memasang tarif yang sangat tinggi asalkan berkorelasi dengan perkembangan intelektual sang anak didik. Lagi pula jangan pernah menghalangi orang yang sanggup membayar mahal untuk pendidikan. Pendidikan adalah hak setiap orang.
Yang menjadi persoalan apabila ada sekolah negeri yang mengutip biaya tinggi bagi para pesertanya sehingga memberatkan bagi kalangan menengah ke bawah. Ini melanggar konstitusi, karena biaya operasional pendidikan sekolah negeri telah dianggarkan dari dana APBN yang berasal dari uang pajak rakyat.