Jalan kekuasaan bukanlah jalan lurus dan mulus, selalu ada yang menggoda hasrat berkuasa, dan pada waktunya sejarah selalu berulang.
Kemarin, Selasa siang, KPK menetapkan Jero Wacik, Menteri Energi Sumber Daya Mineral, sebagai tersangka korupsi. Ini pukulan telak dan aib bagi pemerintahan SBY yang telah memasuki senja kala. Jero menyusul dua koleganya, mantan Menpora Andi Mallarangeng dan mantan Menteri Agama Surya Darma Ali.
Sebenarnya bukan hal mengejutkan lagi ketika pejabat publik, mulai tingkat eksekutif, legislatif, yudikatif, dan auditif, akhirnya ditetapkan menjadi tersangka dan kemudian divonis menjadi narapidana korupsi.
Di satu kuliah umum yang saya hadiri mengenai penanganan kasus korupsi, Abraham Samad, ketua KPK, mengatakan setidaknya ada dua motif kenapa orang bisa melakukan korupsi. Pertama, adalah kebutuhan yang mendesak, dan kedua adalah keserakahan akibat gaya hidup mewah para pejabat.
Saya paling sepakat dengan motif keserakahan. Sebagai contoh, pejabat level nasional mendapat gaji sekitar Rp. 100-200 juta dalam sebulan, ada saja masih merasa kekurangan, sehingga harus memenuhi dengan korupsi. Saya tidak percaya jika ada pelaku korupsi yang mengaku tidak sengaja atau tidak mengerti bisa melakukan korupsi.
Saya pun kadang merasa risih ketika melihat para koruptor di media tidak menampakkan wajah penyesalan, permohonan maaf, dan tak ada rasa malu dalam hubungan sosial. Saya ingin memberikan contoh seorang narapidana korupsi, yang juga mantan ketua umum PSSI, akhirnya dibebaskan dari bui setelah menjalani dua pertiga masa hukumannya. Kemudian dia pulang kampung, setibanya di Makassar, saya tak percaya dia mendapatkan sambutan meriah layaknya ketika menyambut tokoh atau pahlawan yang telah berjasa. Bahkan sang wali kota kami ketika itu, menyambutnya hangat dan mencium tangan sang mantan narapidana korupsi.
Terjadi pro-kontra atas adegan itu, mengapa seorang pejabat publik sekelas walikota bisa merendahkan wibawanya di depan orang yang telah merampok uang negara ratusan milyar rupiah. Kita bisa bayangkan ratusan milyar jika dibangun infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pertanian, dan sebagainya. Waktu terus berlalu, kasus ‘cium tangan’ itu akhirnya terlupakan.
Dan pada gilirannya, sang walikota bersangkutan di masa akhir jabatannya juga ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Alih-alih merasa bersalah dan memohon maaf, dia melakukan pembelaan diri yang klise. Lebih dari itu, di beberapa kesempatan acara formal pemerintah kota, dia masih saja kerap tampil terdepan padahal sudah tak menjadi walikota, dan berstatus tersangka.
Timbul pertanyaan saya, dimana rasa malu dan rasa bersalah mantan walikota tersebut ? Â dan mengapa bisa walikota baru memperlakukan tersangka korupsi sedemikian istimewanya, sekalipun dia bisa menjabat walikota karena bantuan besar dari mantan walikota tersebut.
Saya kadang mengangkat topik ini ketika berdiskusi di ruang-ruang non formal. Ada yang setuju, namun kebanyakan dari teman memaklumi karena sikap demikian sudah menjadi budaya untuk saling hormat-menghormati, terhadap koruptor sekali pun.
Barangkali kita memang masih belum matang dalam peradaban. Kita masih memberikan tempat yang layak bahkan perlakuan istimewa bagi para koruptor. Bagi koruptor, hal yang memalukan bukanlah perbuatan korupsinya, tapi apakah pelaku korupsi masih diterima lingkungannya.