[caption id="attachment_287972" align="aligncenter" width="604" caption="(Dok.Pribadi)"][/caption]
Sebenarnya ini versi lengkap dari esai Mochtar Pabotinggi berjudul Dari Rumah Karakter, Dari Buku Cakrawala, yang dimuat di buku Bukuku Kakiku, tahun 2004,hasil kompilasi puluhan intelektual Indonesia yang bercerita pengalaman masing-masing bergelut dengan benda berwujud Buku.
Berangkat dari membaca essai (buku) itu nyaris satu dasawarsa lalu, menjadi motivasi kuat saya untuk melahap buku setebal hampir 400 halaman terbitan PT Gramedia Pustaka Utama ini.
Buku Burung-Burung Cakrawala judulnya, adalah sebuah novel otobiografi yang jauh dari fiksi konflik, sebagaimana kekuatan novel bertumpu. Namun penuh dengan kisah-kisah menarik yang menginspirasi dari perjalanan hidup anak manusia bernama Mochtar Pabotinggi, seorang peneliti, intelektual, budayawan, sekaligus penulis novel luar biasa.
Entah kenapa, Mochtar sangat menggemari metafora Burung dan Cakrawala, sehingga sampul buku novelnya pun berlatar emas dengan menggambarkan enam kawanan burung yang melayang di waktu matahari terbenam di laut biru.
Terdiri dari delapan bab berurut dari awal kemerdekaan. Menapak tilas hidupnya dengan narasi yang sangat jujur. Tentus aja cerita dimulai dari sebuah rumah panggung di Bulukumba hingga di pantai Honolulu di Amerika Serikat. Perjalanan berfokus pada lima kota yang membentuk karakter dan jiwa intelektual penulis dalam tiga zaman : Bulukumba, Makassar, Yogyakarta, Jakarta, dan kampus Massachusetts, AS. Pembaca seperti diajak untuk jauh menjelajah belantara tempat yang menjadikan pelajaran hidup yang kaya.
Di Bulukumba, bagi Mochtar adalah puisi, mungkin mendeskripsikan betapa kampung itu sangat subur, dialiri sungai jernih, dan dikukuhi gunung menjulang. Lalu ketika masuk kota Makassar, sebuah alternasi ritmis dari prosa dan puisi. Di Makassar awal tahun 60-an, penulis menjabarkan ceritanya sebagai mahasiswa Unhas yang membawanya ke berbagai bacaan legenda pada zaman itu. Kembang Api Cakrawala di Makassar, begitu metafora Mochtar, yang sangat bergairah memasuki dunia akademis.
Klimaks dunia inteletual penulis terbentuk ketika hijrah ke Jogja dan kuliah di jurusan Sastra Inggris, UGM. Waktu itu adalah fase dimana sastra dan budaya berada di titik puncak dengan generasi emas Indonesia berkarya. Mochtar merasa beruntung sering berdiskusi banyak ilmuwan, seniman, dan budayawan.
Sekedar menyebut nama Umbu Landi Paranggi, Ketua Muhammadiyah, Kiai Haji A.R Fachruddin, Peter Dick pemimpin Majalah Basis, pelukis Affandi, penyair“burung merak” W.S . Rendra,cerpenis ulung Umar Kayam, Nurcholis Madjid sang Pembaharu pemikiran islam, Gunawan Muhammad, sastrawan-sejarawan Kuntowijoyo,legenda Sartono Kartodirdjo, dan masih banyak lagi.
Jakarta kemudian Honolulu, AS merupakanbabak baru menetap di ibu kota negara, kota metropolis yang giat-giatnya membangun, di Jakarta penulis lebih banyak mencari nafkah kemudian melanglang buana ke negara Amerika Serikat hasil mendapatkan beasiswa kuliah di Massachusetts, AS. Di negara yang mendamba hedonis, penulis hanyut dalam buku di perpustakaan kampus yang megah. Bagian ini adalah pertautan moral, etika, dan tentu saja buah sukses dari belajar, kerja keras, dan kejujuran.
Apa saja yang dipaparkan penulis membuat hati kita melompat-lompat dalam satu emosi ke emosi yang lain. Kadang kita tersenyum, lalu ikut tertawa, kemudian kita juga dibawa menaruh simpati, merenung dan pada akhirnya mendapatkan hikmah bahwa kebahagiaan terbesar dalam hidup tergantung dari rasa syukur.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H