Bersamaan dengan padamnya api di kaldron Stadion Utama Riau, yang katanya stadion termodern yang kita punya saat ini, Pekan Olahraga Nasional (PON) ke XVIII di Riau, secara resmi akan ditutup oleh Wakil Presiden Boediono nanti malam.
Apa yang bisa kita raih dari perhelatan pesta olahraga empat tahunan ini ?
Sejujurnya PON sebagai salah satu alat pemersatu bangsa dengan berkumpulnya ribuan olahragawan dari Sabang sampai Merauke, telah kehilangan makna dan jauh dari substansi sebagai proyek pembinaan olahraga nasional jangka panjang untuk ajang yang lebih tinggi dan prestisius : SeaGames, Asian Games, dan berpuncak pada Olimpiade.
Saya banyak terlewatkan menyaksikan pertandingan dan perlombaan PON. Bukan PON kali ini saja, sejak penyelenggaraan tahun 1996 di Jakarta ! Ketika itu pemerintah mengambil kebijakan untuk memajukan pelaksanaan PON setahun yang sebenarnya baru berlangsung 1997.
Mulai 1996, PON berlangsung normal empat tahun sekali, dan kita harus mengapresiasi bahwa sejak tahun 2000, tuan rumah PON harus diluar DKI Jakarta secara bergilir dengan tujuan pemerataan pembangunan olahraga di Provinsi lain.
Jatim 2000, Sumsel 2004, lalu Kaltim 2008, dan Riau 2012 telah mendapat jatahnya. Masalah saya pribadi adalah tahun penyelenggaraan PON berlangsung bersamaan dengan ajang olimpiade. Ketika olimpiade London dua bulan lalu, hampir tidak ada perebutan emas yang saya lewatkan, belum lagi segala perangkatku selalu siap mengakses situs resmi London 2012.
Ketika saya masih dibuat kagum dengan aksi-aksi hebat dengan berbagai pemecahan rekor citius, altius, dan fortius atlet dari penjuru dunia di olympic. Maka penonton PON setelah itu adalah ekspektasi yang rendah. Apalagi PON sudah dihebohkan dengan kasus korupsi dan tidak siapnya panitia, lengkap sudah kelesuan untuk menikmatinya. Mungkin alurnya berbeda jika pelaksanaan PON terlebih dulu, kemudian atlet-atlet kita berangkat menuju olimpiade, yang biasanya digelar musim panas Juli-Agustus.
Proyek Instan PON hanya dijadikan alat proyek jangka pendek bahkan jalan pintas bagi banyak daerah untuk terlihat lebih unggul dari daerah lain. Lima pelaksanaan PON terakhir diwarnai dengan daerah-daerah kaya membajak atlet-atlet beprestasi daerah lain dengan iming-iming bonus ratusan juta, bahkan ditawar menjadi PNS setempat.
Dengan begitu kompetisi sehat jauh dari harapan, yang ada hanya bermunculan atlet-atlet terkena kasus doping. Lalu kenapa pula PON mesti mempertandingkan 43 cabang olahraga dengan lebih 600 set medali. Beberapa cabang seperti Billiar, Catur, Aeromodeling, dan bahkan Balap Motor, dan sebagainya dipaksa ikut menjadi ladang medali untuk memberi keuntungan bagi sejumlah daerah--biasanya tuan rumah. Sebagai bandingan ajang multi event seperti SEAG, AG, dan Olimpiade, hanya memasukkan tidak lebih dari 30 cabang dengan maksimal 350 set medali.
Hal ini yang menjadi faktor penghambat berkembangnya prestasi olahraga negeri kita, disebabkan sistem pembinaan atlet yang salah. Selama ini proses pembinaan olahraga kita lebih diwarnai corak potong kompas (crash program), sehingga tidak pernah memperlihatkan hasil yang konsisten.
Satu hal lagi, dan bukan cerita usang bahwa kita dinilai sebagai bangsa yang tidak becus dalam memelihara sarana umum. Venue-venue yang digunakan dalam ajang PON Jatim, Sumsel, dan Kaltim dilaporkan terbengkalai tanpa perhatian dari pemerintah.