Jika anda penggemar olahraga, maka anda tentu antusias menyambut  Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX di Jawa Barat yang tepat malam ini dibuka resmi Presiden Joko Widodo di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Bandung.
Buat saya, setiap kali PON digelar, waktu seperti terlipat, melempar memori saya pada tahun 1993. Ketika itu saya siswa kelas satu SMP 6 Ujung Pandang (sekarang Makassar), kagum sekali pada guru olahraga kami yang mendapat kehormatan menjadi anggota kontingen provinsi Sulawesi Selatan pada PON XIII ’93 di Jakarta (penyulutan api PON di kaldron stadion GBK dilakukan dengan pukulan kok dari Susi Susanti, yang terinspirasi penyulutan api melalui anak panah di Olimpiade Barcelona setahun sebelumnya).
Singkat cerita, pulang dari PON dan kembali aktif ke sekolah, beliau selalu bersemangat membagi pengalaman hebat tersebut. Tak lupa rajin mengenakan jaket kontingen Sul-Sel berwarna hijau dan aneka atribut dan asesoris PON dari kontingen provinsi lain.  Prestasi beliau tersebut  (meski saya tidak tahu beliau dulu berpartisipasi ke PON sebagai atlet, pelatih, atau ofisial, bahkan cabang olahraga apa?)- telah membuat saya terobsesi pada dunia olahraga prestasi, membayangkan kelak bisa mengikuti jejaknya mewakili Sulsel pada PON selanjutnya di cabor Bulutangkis. Waktu itu atlet idola saya pebulutangkis Ardi Wiranata.
Waktu kemudian berjalan dan menjawab sendirinya bahwa impian masa kecil saya terhempas. Jangankan ke PON, bertanding di tingkat PORDA pun tak pernah. Namun saya selalu menggemari  dan mengikuti perkembangan dunia olahraga.
Proyek PON
Tetapi sejujurnya kadar kecintaan saya pada PON memudar sejak penyelenggaraan tahun 1996. Ketika itu pemerintah mengambil kebijakan untuk memajukan setahun pelaksanaan PON yang sebenarnya baru berlangsung 1997 dengan alasan politis berlangsungnya Pemilu.
Paling tidak ada dua alasan. Pertama aspek psikologis. Sejak penyelenggaraan PON ’96 waktunya berdekatan setelah ajang multi event internasional olimpiade selesai musim panas Juli-Agustus. PON selalu digelar pada Bulan September. Ketika saya masih dibuat kagum dengan aksi-aksi hebat dengan berbagai pemecahan rekor citius, altius, dan fortius atlet dari penjuru dunia di olympic.Â
Maka menonton PON setelah itu adalah ekspektasi yang rendah. Sekadar usul pribadi lebih baik alurnya dibalik, pelaksanaan PON terlebih dulu bisa di bulan Februari atau Maret, kemudian atlet-atlet kita berangkat menuju olimpiade.
Kedua, ajang PON makin kehilangan makna dan jauh dari substansi sebagai momentum proyek pembinaan olahraga nasional jangka panjang untuk ajang yang lebih tinggi dan prestisius : SeaGames, Asian Games, dan berpuncak pada Olimpiade.
PON hanya dijadikan alat proyek jangka pendek, bahkan jalan pintas bagi banyak daerah untuk terlihat lebih unggul dari daerah lain. Enam pelaksanaan PON terakhir diwarnai dengan daerah-daerah kaya membajak atlet-atlet beprestasi daerah lain dengan iming-iming bonus ratusan juta, bahkan ditawar menjadi PNS setempat.
Dengan begitu kompetisi sehat jauh dari harapan. Lalu kenapa pula PON mesti mempertandingkan 44 cabang olahraga dengan 756 medali emas. Beberapa cabang seperti Billiar, Catur, Aeromodeling, dan bahkan Balap Motor, dan sebagainya dipaksa ikut menjadi ladang medali untuk memberi keuntungan bagi sejumlah daerah--biasanya tuan rumah. Sebagai bandingan ajang multi event seperti SEAG, AG, dan Olimpiade, hanya memasukkan tidak lebih dari 30 cabang dengan maksimal 350 set medali.