Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Kami Hidup Bersama, Kami Mati Bersama, Itulah Semboyan Perancis

4 Juli 2014   20:18 Diperbarui: 7 September 2016   13:05 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14044546311453901839

[caption id="attachment_314017" align="aligncenter" width="576" caption="http://www.fifa.com/worldcup/teams/team=43946/photos/index.html#2390832"][/caption]

Kemampuan sebuah bangsa bangkit dari keterpurukan tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa itu sendiri. Semakin panjang sejarah yang dialami, semakin banyak pelajaran yang bisa dipetik untuk keluar dari krisis.

Sama halnya dengan negara besar Eropa lainnya, Perancis yang kini menjadi rumah impian semua orang, pernah pula mengalami masa kegelapan. Revolusi Perancis (1789-1799) menjadi titik balik sejarah. Perancis menjadi negara terbuka, berpikiran terbuka, menjadi tempat banyak orang selain mengadu nasib, juga untuk menimba ilmu. Semangat keterbukaan dan semangat menaklukkan kolonialisme masa lalu menjadi kekuatan Perancis di semua lini kehidupan. Tak ada negara yang memiliki warna sekaya Perancis.

Dengan sejarah panjang itu, tidak usah heran tim sepak bola Perancis selalu bisa bangkit dari keterpurukan. Bahkan lebih dari itu, mereka seperti lebih bergairah dan memiliki rasa percaya diri tinggi. Lihatlah sejarah mereka dalam empat Piala Dunia terakhir.

Les Bleus, sejak memenangi Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 seperti terseok-seok. Di Piala Dunia 2002, penampilan Perancis sebagai juara bertahan sangat memalukan, tersingkir dari penyisihan tanpa kemenangan dan tanpa membuat satu gol pun. Mereka sempat bangkit di Jerman 2006, meski dikalahkan Italia di partai final yang dramatis, diwarnai tandukan maut Zidane ke dada Marco Materazzi.

Empat tahun kemudian di Afrika Selatan, penampilan Perancis terperosok paling dalam, sekali lagi. Dibawah Raymond Domenech, mereka bukan hanya tersingkir di penyisihan, namun diperparah dengan konflik internal yang memecah kesatuan tim. Dan belum sepenuhnya teratasi pada era Laurent Blanc di Piala Eropa 2012.

Baru pada kepelatihan Didier Deschamps kita mengingat kembali kesolidan, kekompakan, dan kesatuan suatu tim layaknya Perancis saat Aime’ Jaquet mengasuh “Ayam Jantan” tahun 1998. Barangkali karena Deschamps sendiri yang ditunjuk Jaquet menjadi kapten saat itu. 

Timnas Perancis dibuatnya sebagai keluarga besar yang harmonis. Tak ada curiga, tak ada sekat, tak ada pengkotakan. Inilah yang lama hilang di tim Perancis. Semangat juang, spirit bertempur hingga penghabisan. Deschamps sejauh ini sukses mengkombinasikan pemain muda yang sarat energi dengan pemain yang sarat pengalaman.

Perancis melenggang ke perempat final dengan relatif mulus, lewat permainan yang sangat cerdas. Tidak ada seorang pemain yang menonjol. Mereka saling buka ruang, saling isi, dan saling membutuhkan. Tengoklah setiap berhasil mencetak gol, mereka merayakan bersama pemain-pemain cadangan sebagai wujud kesatuan dan kekompakan. Mereka mulai menuai apa yang dulu telah mereka tabur, semua bersatu demi mimpi baru. Jika tahun 1998, Les Bleusmenggunakan lagu disko klasik Gloria Gaynor, I Will Survive sebagai lagu pembangkit semangat juang, kini mereka mengusung pepatah lama On vit eensemble, On meurt ensemble (kami hidup bersama, kami mati bersama). Semua tentang perjuangan bertahan hidup.

Duel Klasik

Malam nanti di stadion bersejarah, Maracana, Perancis akan bertemu raksasa Eropa lainnya, Jerman, dalam pertandingan perdana babak perempat final Piala Dunia 2014. Pertemuan dua tim kelas berat Eropa ini senantiasa akan menjadi tontonan menarik, mengingat dua tim punya sejarah panjang di Piala Dunia.

Kita digiring membuka lembaran sejarah pertandingan perempat final Piala Dunia 1982, ketika Jerman mengalahkan Perancis lewat adu penalti pertama yang dilaksanakan di ajang Piala Dunia, setelah bermain keras selama 120 menit dengan skor 3-3. Drama kontroversial di Sevilla 32 tahun silam yang masih diingat orang saat kiper Jerman, Harald Schumacher dengan brutal mencederai Patrick Battiston, dua gigi copot, tulang iga dan tulang belakang Battiston patah.

Kedua tim kembali bertemu di semifinal Piala Dunia 1986. Perancis yang kala itu berpredikat juara Eropa, kembali takluk 0-2 oleh Jerman yang di perkuat pemain Karl-Heinz Rummenigge, Lohtar Matthaeus, dan Rudi Voller. Sejak itu, mereka tak pernah lagi berjumpa di turnamen akbar, seperti Piala Dunia dan Piala Eropa. 

Timnas Jerman adalah Panser yang penuh dengan amunisi dan siap ditembakkan. Prinsip Joachim Loew, pelatih Jerman, dan semua orang Jerman yang masih terpelihara adalah pemahaman bahwa dalam sebuah pertandingan hanya ada satu kemungkinan: menang, seri, atau kalah. Untuk meraih tujuan, mereka harus mengantisipasi sedini mungkin, sekecil apa pun variabelnya. Penampilan yang sempurna hanya karena persiapan matang. Mana mau mereka melakukan sesuatu tanpa ancang-ancang, dan tergopoh-gopoh. Bagi Jerman, setelah pertandingan satu, adalah waktunya pertandingan yang lain

Jika ada yang berubah adalah cara mereka bermain di lapangan. Jogi—sebelumnya Klinsmann merevolusi gaya sepak bola Jerman yang dulu cenderung konservatif dan seperti mesin diesel. Jerman era Jogi dibangun dengan kekuatan pemain-pemain muda berteknik tinggi dan berkekuatan fisik prima. Mereka bermain menyerang aktraktif, mengalir, efektif, menciptakan banyak peluang, dan mematikan.

****

Sebagai bola mania yang sudah menonton banyak rivalitas negara-negara hebat sepak bola, tersisa duel klasik Perancis dan Jerman ini yang belum pernah saya saksikan di ajang akbar Piala Dunia. Melihat grafik penampilan dan sejarah panjang kedua tim, partai ini akan berlangsung ketat dan keras.

Rivalitas klasik dua negara terbesar di Eropa ini yang penuh ambisi, kebanggaan, prestise, dan mungkin saja dendam, sekaligus akan menjaga pamor benua Eropa di semifinal, final, dan menjadi juara di kandang lawan. Tanah Amerika.

Salam Pildun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun