Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jurnalisme Investigasi Spotlight

10 Oktober 2016   10:54 Diperbarui: 10 September 2019   19:16 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: imdb.com


Satu film drama yang membuat perasaan terguncang. Pesan film hendak menegaskan tak ada manusia sempurna, siapa pun dan apa pun latar belakang profesinya.

****

Awal Maret silam, di Kodak Theater, aktor kawakan Morgan Freeman diberi kehormatan membacakan pemenang kategori paling dinanti pada malam Academy Award ke-88. Setelah membuka amplop dan menarik kertas, dengan senyum kecil, Freeman mengumumkan bahwa Spotlight terpilih sebagai Best Picture. Spotlight berangkat dari kisah nyata upaya investigasi surat kabar The Boston Globe pada 2001 dalam membongkar praktik pedofilia para pastur gereja katolik secara masif.

Saya ingat Kompas meriview dengan judul Jurnalisme Tanpa Tabu. Bahwa demi kebenaran dan kemanusiaan, jurnalisme tak patut terjebak pada tabu. Pada saat hampir bersamaan, Leila S Chudori di Tempo (majalah yang mengusung Investigasi) mensipnosis Spotlight dengan pesan menohok, bahwa rumah Tuhan seharusnya menjadi tempat paling aman di muka bumi.

Sayang sekali, film ini tidak pernah tayang di layar bioskop di kota saya menetap, Makassar.  

***

Kembali ke Spotlight. Statistik menjelaskan mayoritas dari populasi kota Boston merupakan imigran dari negara Irlandia yang terkenal fanatik dan ortodoks dalam kehidupan dan religi. Kehidupan Boston mungkin bisa diwakili klub basket NBA Boston Celtics, atau klub NFL Red Sox.  Sehingga untuk menunjukkan identitas Boston, maka wajib menampilkan Fenway Park Stadium, markas Sox, dalam satu adegan film. Semacam paket PSM-Mattoanging, jika kita berbicara identitas kota Makassar.

Cerita dimulai dengan perkenalan pemimpin redaksi baru di Boston Globe. Namanya Marty Baron (diperankan Liev Schreiber), laki-laki Yahudi; dinilai berpaham liberal; dan tidak (ingin) membangun rumah tangga seperti kebanyakan orang. Tapi Baron sangat independen sebagai jurnalis, tidak terpengaruh intervensi politik-hukum dan kekuatan institusi gereja, yang sudah sangat mengakar di masyarakat setempat. Oleh pemimpin agama (katolik) dan lembaga status quo,  kehadiran Baron di Boston dianggap ‘berbahaya’.

Baron langsung membuat gebrakan dan menantang tim Spotlight,  untuk menyampingkan dulu investigasi penyimpangan konstruksi gedung,  dan beralih memprioritas pengungkapan tuduhan pelecehan seksual para pastur yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Target yang ingin diburu adalah sistem, bukan kasuistis yang melibatkan satu-dua orang oknum. Sempat menolak dengan alasan emosional yang bisa berdampak luas ketika menyerang institusi gereja yang sudah mengakar kuat, Spotlight akhirnya menggarap atas nama kebenaran dan keadilan.

Film berdurasi 128 menit ini sebenarnya kita sudah tahu seperti apa ujung ceritanya. Berjalan sangat datar, cenderung sepi, dan hening, audio musik hampir tidak ada, sampai kita menyaksikan dengan hati pedih wajah-wajah tak berdosa sekelompok penyanyi anak-anak gereja membawakan lagu-lagu memuja Tuhan.

Kita seperti ikut terlibat di dalamnya, sedikit demi sedikit, lapis demi lapis, menemukan bukti sahih kejahatan yang berkeping-keping, dan pada akhirnya menciptakan mozaik puzzle yang utuh. Itulah hebatnya duet sutradara Tom McCarthy dan penulis skenario  Josh Singer, yang membangun plot, sampai mengantar kita pada klimaks berkelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun