Saya hapal detail final Liga Champions tiap tahun, setidaknya dua dasarwasa terakhir. Mulai dari kota tuan rumah, dua kontestan, siapa wasit yang mengadili, klimaks dan kontoversi pertandingan. Bahkan saya belum lupa kegiatan yang saya lakukan di sekitar hari pertandingan.
Hasil drawing fase knock-out Liga Champions 2014 kemarin yang mempertemukan Juventus berhadapan dengan Borrusia Dortmund, membuat saya ingin mengenang final Liga Champions 1997.
Karl-Heinz Riedle, yang didapuk menjadi ambassador Final Liga Champion2014, di stadion Olympia Berlin, 6 Juni nanti—merupakan pahlawan Dormund 17 tahun silam di kota Munich. Liga Champions kala itu masih ‘murni’. Hanya untuk tim juara kompetisi domestik.
Saya kadang berandai-andai, jika UEFA belum meregulasi format mulai musim 1998/1999, maka Manchester United (MU) tak bakal pernah merayakan sukses treble di ujung musim 1999. MU, sekali lagi beruntung dengan kebijakan UEFA, karena musim sebelumnya di Liga Inggris hanya berstatus Runner-up di bawah Arsenal. Begitu pun Real Madrid pada 2000, dan AC Milan pada 2003, menjadi juara Liga Champions tanpa harus menjadi juara Liga domestik di musim sebelumnya.
Buat saya, salah satu final Liga Champions paling dahsyat sepanjang masa terjadi pada musim 1997, kala tim ‘kedua” Jerman, Borrusia Dortmund, membungkam raksasa Italia, Juventus, yang mencoba misi menguasai benua Eropa. Padahal, Juventus adalah tim paling gemilang di pertengahan 1990-an. Juventus adalah inkumben Piala Champions, juara Serie-A yang merupakan kompetisi paling elit.
Tinggal selangkah lagi Juventus berhasil mempertahankan supremasi Piala Champions, sekaligus mengokohkan reputasi (Italia) di kancah Eropa. Setelah era The Dream Team AC Milan -Arrigo Sacchi dan Fabio Capello, tumbang, kini giliran Juventus--Marcelo Lippi, begitu kira-kira. Juventus punya pemain-pemain terbaik di segala posisi. Kita tentu masih ingat kiper Angelo Peruzzi, duet bek karang pada Ciro Ferara dan Paolo Montero, Angelo di Livio, dan Didier Deschamps di lini tengah, dan tentu saja trio legendaris mereka: Zinedine Zidane, Alesandro del Piero, dan Christian Vieri. Talenta-talenta dan master sepak bola itu diracik Marcelo Lippi.
Penantangnya, Borrusia Dortmund, harus diakui tak bisa disandingkan dengan Juventus, dilihat dari faktor apa saja. Sejarah, materi pemain, dan pencapaian aktual, tak ada yang memihak tim kuning-hitam ini. Dortmund praktis mengandalkan pesepakbola senior seperti nama-nama Matthias Sammer, Stefan Reuter, Jurgen Kohler, Paolo Sousa, Andrea Moeller, dan Karl Heinz Rieddle. Meski bertanding di tanah Jerman, anak asuh Ottmar Hitzfield tersebut disepelekan, biar pun di semifinal mereka menghentikan Manchester United.
Bianconeri-julukan Juventus yang menunjukan warna hitam-putih, datang ke Olmpya Stadion kota Munich, Jerman, dengan kepercayaan tinggi, bahkan cenderung pongah. Lippi dengan enteng di konfrensi pers sehari sebelum kick-off menyatakan jauh lebih sulit menjadi Scudetto daripada menjadi juara Liga Champions. Meski terdengar arogan, media dan pakar sepak bola tak ada yang membantah. Bahkan media dan orang Jerman pun sepakat, belum waktunya klub Jerman merusak hegemoni klub Italia. Hanya sedikit yang percaya bahwa Juventus bakal kalah, saya termasuk minoritas itu. Sangat subyektif. Kenapa ?
Pertama, sejak dulu (sampai sekarang) entah kenapa saya tidak menggemari gaya Juventus bermain sepak bola. Mungkin karena saya adalah fans klub Inter Milan dan Lazio di Serie-A, hal lazim bagi penggemar sepak bola. Kedua, saya pun tak senang dengan dominasi Bayern Munchen di Bundesliga. Saya berharap ada tim, paling tidak bisa bersaing dan mendekati Munchen. Dan klub paling mungkin adalah Dortmund.
Tibalah kick-off final yang diwasiti wasit terbaik Sandor Puhl dari Hungaria. Dortmund ternyata tak silau dengan nama besar Juve. Pemain senior seperti Sammer dan Moeller menegaskan bahwa untuk memenangkan pertandingan sepenting final, perlu persiapan matang, fokus pada hal detail, dan menumbuhkan mental kuat kepada seluruh pemain.
Juventus yang begitu difavoritkan, barangkali lengah, mereka tampil anti klimaks, jauh dari harapan, dibuat mati angin, kemudian dihukum. Lewat rangkaian serangan efektif tipikal Jerman, Dortmund langsung melaju dengan dua gol di babak pertama yang dicetak Karl-Heinz Riedle. Di pertengahan babak kedua Juventus sempat diberi harapan dengan gol pembalas Del Piero. Namun hanya berselang lima menit, tepatnya menit 70’, pemain pengganti Lars Ricken mengunci kemenangan Dortmund lewat sentuhan pertamanya dengan bola yang menjadi gol lob cantik melewati jangkauan Peruzzi, hasil menerima umpan matang Moeller. Skor 3-1, membuat pemain Juventus jatuh harapan dan di saat bersamaan membuat Dortmud semakin kokoh dan tak terkejar.