Selain gudeg, kuliner Jogja yang tidak boleh dilewatkan adalah bakmi. Usai kunjungan singkat ke Vredeburg, waktunya kita makan.
Kebetulan malam itu, Nisa dan Arman, suaminya, keluarga dari Makassar yang menetap di Jakarta, juga sedang berlibur ke Jogja. Nisa membuat janji dengan Vera bertemu untuk menitipkan barang ke Makassar.
Nisa dan Arman sebenarnya sudah makan malam Bakmi Pele di Pojok Alun-alun Utara, ketika kami masih di Vredeburg. Mereka memberitahu antrian sangat banyak untuk mendapatkan kursi kosong di Pele, maklum musim puncak liburan. Kami memutuskan memilih bakmi di tempat lain yang lebih luas dan juga legendaris, yakni Bakmi Kadin.
Selama di Jogja, Arman menyewa mobil, kami akan dijemput dan bersiap menunggu di Jalan Panembahan Senopati, tepat di seberang kantor Bank Indonesia, untuk selanjutnya bergerak ke arah timur ke Jalan Bintaran Kidul, lokasi Bakmi Kadin, tepat di belakang kantor Kadin DIY, yang bisa jadi akhirnya dipakai sebagai merk dagang. Ada juga kabar bahwa nama Kadin merupakan singkatan dari "Karto Kasidin", orang yang pertama kali berjualan bakmi di warung ini pada 1947.
Bakmi Kadin menempati halaman luas bangunan klasik, yang didesain menjadi warung sederhana, dengan perabotan kayu sederhana, beratap seng-seng tua, dan dekorasi gaya tradisional. Warung ini didominasi warna kuning, suasananya memberikan kehangatan dan keakraban. Pelayan pun sangat ramah, setiap pelanggan merasa dilayani dengan penuh perhatian.
Ketika kami tiba sekitar pukul 20.15, warung hampir penuh, beruntung kami masih bisa mendapatkan satu meja. Langsung saja saya memesan bakmi goreng, Vera memilih bakmi rebus, yang nantinya akan dibagi bersama Siti dan Uswa yang sebenarnya belum lapar karena sudah jajan di Vredeburg. Sedangkan Arman ingin mencicipi bakmi goreng karena di Pele ia menyantap bakmi godog. Seporsi itu ia berbagi dengan Nisa. Teh panas dan jeruk hangat melengkapi menu kami malam itu.
Karena ramai pengunjung, pelayan mengatakan butuh waktu 45 menit menyiapkan pesanan kami ini. Untuk melayani banyak pesanan terdapat empat tungku di gerobak, di wajan tersebut mie-mie pesanan diracik, dibakar dengan kayu dengan menggunakan wajan tradisonal. Untuk memastikan cita rasa yang pas, setiap pesanan diproses slow food, dibuat setelah pesanan datang. Dalam satu kali masak hanya untuk dua atau tiga porsi saja.
Menunggu menu datang di sini tidak membosankan karena suasananya menyenangkan. Vera, saya, Nisa, dan Arman bertukar cerita pengalaman seru selama di Jogja. Sambil ngobrol kita dihibur kelompok musik yang memainkan alunan lagu-lagu keroncong klasik yang tak lekang zaman. Malam itu saya takjub satu lagu dinyanyikan indah "Sepasang Mata Bola" karya Ismail Marzuki.
"... dua mata memandang seakan-akan dia berkata/ "Lindungi aku pahlawan daripada si angkara murka..."
Sejak dulu Bakmi Kadin setia melestarikan lagu-lagu keroncong, semacam satu paket tak terpisahkan. Suasana asli Jogja pun semakin terasa. Tiba-tiba saya membayangkan jika Waljinah atau Sundari Soetkojo mampir ke sini.