Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tradisi dan Darah Panas Pemain Inggris

10 Desember 2022   20:24 Diperbarui: 10 Desember 2022   20:43 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: https://www.thestar.com.my/sport/football/)

Para pemain yang terpilih dalam skuad telah dikalahkan oleh dirinya sendiri, berlomba menjadi bintang karena perhatian media kepada Inggris selalu menjadi prioritas. Ulah pemain Inggris memang meresahkan.

Steven Gerrard menulis dalam bukunya My Story, mengungkap, darah panas Inggris sulit dibantah, para pemain lebih suka menjadi bintang, kurang fokus pada sepak bola. Mereka dikalahkan oleh dirinya sendiri. Kesombongan mendahului kejatuhan, anggota skuad Inggris selalu merasa 'inilah aku, pemain Liga Inggris', kompetisi paling menarik dan paling kompetitif di dunia.

Jelas Liga Inggris bukanlah liga terbaik di dunia secara teknis, tapi para pemain muda yang bersinar di Liga Premier akan menjadi bintang media dalam semalam. Popularitas semacam itu tidak menguntungkan siapa pun selain agen si pemain dan sponsornya.

Gerrard membandingkan, di Jerman seorang pemain dianggap bintang hanya jika dia mendapatkan medali kemenangan Piala Dunia atau Piala Eropa. Sedangkan pemain Inggris sering disebut bintang bahkan sebelum dipanggil tim nasional untuk kali pertama.

Sulit tidak menampik bahwa media Inggris juga biang kegagalan Inggris puluhan tahun. Media tidak seimbang dalam meliput Inggris. Setiap putaran final, markas tim disesaki media untuk menulis kehidupan mewah bintang-bintang yang berada pada puncak popularitas. Hampir tak ada yang terlewat perihal skuad Inggris, meski pun hal yang tidak penting. Model rambut, busana pakaian pacar pemain, harga parfum, semua diekpose ke publik.

Media Inggris juga selalu konfrontasi dengan pelatih timnas. Komentarnya sinis, tidak pernah kehabisan amunisi untuk menyinyir timnas Inggris. Semestinya harus lebih seimbang dalam menulis berita. Pemain perlu mental yang lebih stabil menjalani pertandingan demi pertandingan.

****

Sejak ditangani Gareth Southgate pada 2016, Inggris mulai bersilkap "rendah hati", Southgate melakukan pendekatan berbeda dibandingkan sebelumnya.

Southgate memimpin Inggris pada Piala Dunia Russia 2018 dengan memboyong barisan pemain muda berbakat. Markus Rashford (19), Delle Alli (22), Raheem Sterling (23), dan kapten Harry Kane (24). Atmosfer tim Inggris 2018 jauh lebih "adem" daripada sebelumnya. Barangkali Inggris Southgate lebih realistis karena banyak yang sadar bahwa Inggris tidak diperkuat pemain yang mampu memenangkan  Piala Dunia.

Justru tanpa tekanan dan umbaran media, Inggris sukses melangkah jauh sampai semifinal sebelum dikalahkan Kroasia lewat extra time, pencapaian tertinggi sejak Piala Dunia 1990. Skuad Three Lions 2018 yang dibangun Southgate diproyeksikan mencapai puncak pada Piala Eropa 2020 dan Piala Dunia 2022.

Harus diakui dan diapresiasi pasukan Inggris mulai matang dengan berhasil melangkah ke pertandingan final Piala Eropa 2020 di Stadion Wembley. Sayang ambisi Inggris memenangkan trofi Piala Eropa pertamanya digagalkan Italia melalui drama adu penalti yang dramatis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun