Ada beberapa masih membekas. Kesatu, final Piala Dunia 1994 antara Brasil dan Italia, yang dimenangkan Brasil, karena tiga "algojo" Italia gagal menceploskan bola, termasuk Roberto Baggio. Banyak orang lebih mengenang Baggio dengan tendangan penalti yang gagal dibandingkan deretan prestasi hebatnya sebelum sepakannya melambung di Pasadena.
Kedua, adu penalti semifinal Piala Eropa 1996, antara Inggris melawan Jerman, juga masih terkenang. Inggris yang tampil apik sepanjang turnamen, berstatus tuan rumah, akhirnya tumbang karena Gareth Southgate, yang kini manager Inggris, gagal menaklukkan Andreas Kopke, kiper Jerman. Airmata Southgate, jatuh di Stadion Wembley mengingatkan air mata Paul Gascoingne di Turin 1990, di hadapan musuh yang sama.
Ketiga, semifinal Euro 2000 saat tuan rumah Belanda tumbang oleh Italia melalui adu penalti, juga yang paling tragis, yang bisa saya ingat. Bayangkan saja, Belanda harusnya bisa memenangkan pertandingan tanpa adu penalti, karena di waktu normal, Oranye punya dua hadiah penalti dan puluhan kans, namun semuanya tak mau masuk ke gawang Francesco Toldo, kiper Italia.
Saat adu penalti, tiga pemain Belanda pun gagal menyelesaikan tugas dengan baik. Satu di antaranya adalah sepakan penalti bek Jaap Stam yang melambung sangat tinggi di atas mistar gawang. Itu mungkin tendangan penalti paling kacau yang pernah saya saksikan. Sedangkan pemain Italia, Francesco Totti melakukan sepakan penalti berkelas, gaya Panenka, mencip bola ke tengah gawang mengecoh kiper Van der Sar.
****
Satu hal, banyak yang bilang kalah adu penalti ibarat kalah lotre, tidak beruntung. Apes, sial, naas, celaka, atau apapun istilahnya.Â
Tapi asumsi bahwa adu penalti ibarat lotre, bisa dengan mudah dipatahkan dengan beberapa bukti. Mengapa Jerman empat kali menjalani adu penalti bisa menang terus? Nasib baikkah semata? Lalu Brasil menang empat kali dari lima kesempatan.Â
Atau jika memang lotre yang sewaktu-waktu bisa berpihak pada hari baik, mengapa tim Spanyol tiga kali beruntu kalah adu penalti. Inggris, Italia, dan Belanda, rekornya juga jelek di adu penalti. Dengan begitu, penalti bukanlah sekadar menggantungkan pada nasib baik saja. Perlu kesiapan, keberanian, dan ketangguhan mental.
Sepak bola zaman dulu barangkali menilai adu penalti hanya ditentukan faktor mental saja, sehingga tak masuk agenda latihan. Bagi mayoritas pelatih, tendangan penalti bukan sekadar persoalan teknis yang bisa dibereskan melalui latihan intens. Tidak peduli seberapa banyak latihan penalti dilakukan, pemain tetap tidak bisa merancang bagaimana sebuah tendangan penalti yang sempurna.
Namun sepak bola modern sekarang ini harus terbiasa menerima adu penalti sebagai rencana dari strategi. Tampaknya, probabilitas adu penalti semakin besar. Dalam pertandingan yang kian menentukan, semua tim bermain hati-hati dan bertahan habis-habisan yang dianggap lebih sedikit resikonya. Oleh karenanya, beberapa pelatih memberikan waktu khusus berlatih tembakan penalti. Bahkan merasa perlu dukungan data statistik dan hukum fisika dari ahli.
Berdasarkan beberapa riset, tendangan penalti yang sempurna adalah pada titik pojok atas kanan atau kiri gawang. Di sisi itu, mustahil diantisipasi kiper. Namun persoalannya, tak banyak yang berani mengincar titik akurat itu. Harus memperhatikan arah angin, rotasi serta kecepatan bola, dan harus membuat kalkulasi cepat di otaknya. Sedikit saja salah, bola pasti melenceng dari target.