Buku Man of Contradictions, Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia ditulis dengan gamblang tanpa tendensi oleh Ben Bland, Direktur Program Asia Tenggara Lowy Institute. Ben sebelumnya adalah koresponden pemenang penghargaan untuk Financial Times di Indonesia, Cina, dan Vietnam.
Karya jurnalistik ini meruntuhkan keyakinan saya, bahwa kepemimpinan Joko Widodo tak berubah dari Solo, Gubernur DKI, dan menjadi Presiden RI. Realitasnya Jokowi memilih, atau bisa jadi terjebak, menjadi presiden biasa-biasa saja.
Ini bukan hanya kisah tentang bagaimana seorang pemilik pabrik furniture yang tumbuh di gubuk di tepi sungai ini sempat menjadi sensasi politik nasional sebagai Walikota Solo, kota kelahirannya di Jawa Tengah berhasil menjadi presiden sebuah bangsa yang besar.
Joko Widodo terpilih sebagai Wali Kota Solo pada 2005, hanya tujuh tahun sejak Presiden Soeharto digulingkan setelah krisis keuangan Asia, setelah 32 tahun pemerintahan otokratis.
Pada tahun-tahun awal Indonesia berdemokrasi, Jokowi dipandang sebagai ikon pemerintahan bersih yang langka. Jokowi telah menunjukkan cara baru dalam melakukan sesuatu: mendengarkan orang, memperbaiki pasar yang rusak, membangun rumah baru untuk penghuni daerah kumuh, dan memberikan contoh anti korupsi yang langka. Fenomena di Solo segera menarik minat luar di tingkat nasional.
Jokowi memiliki naluri yang tak tertandingi untuk politik populer dan mampu menggemparkan kampanye pemilihan di DKI dan kemudian RI-1. Malcolm Turnbull, mantan Perdana Menteri Australia yang bersahabat dengan Jokowi saat menjabat, menelepon dia dan menyebut "salah satu pemimpin terpenting di dunia" dan "kucing keren" dalam segala hal.
Namun, setelah diperiksa lebih dekat, semakin lama Jokowi berada di istana presiden, semakin pudar pesonanya. Apakah kekuasaan mengubahnya, atau apakah itu hanya mengungkapkan karakter aslinya?
Pada masa jabatan keduanya, laki-laki yang menyebut dirinya sebagai orang luar itu telah tertanam dalam-dalam sebagai politik elite. Ia menyebut dirinya sebagai orang luar yang akan mengguncang sistem yang sudah rusak. Tapi dia terbukti penjaga prinsip dan praktek demokrasi yang buruk.
Yang kita tahu pasti adalah bahwa setelah enam tahun berada di istana presiden, dia telah kembali ke akar otoriter Indonesia, mengikis kebebasan berbicara dan hak-hak minoritas, merusak perjuangan yang sangat penting melawan korupsi, dan meluncurkan dinasti politiknya.
Jokowi yang pernah dikagumi karena reputasinya yang bersih telah melemahkan lembaga antikorupsi KPK yang sangat populer di negara itu, yang memicu pecahnya protes besar mahasiswa. Dan seruannya yang gigih untuk transformasi birokrasi dan ekonomi telah terhambat oleh kurangnya fokus.
Pemerintahannya menunjukkan banyak sifat terburuknya: mengabaikan nasihat ahli, kurangnya kepercayaan pada masyarakat sipil, dan kegagalan untuk mengembangkan strategi yang koheren.