Siapa tak kenal Jakob Oetama?
Meskipun saya bukan karyawan Kompas Gramedia. Tak juga pernah bertemu langsung dengan sosok bersahaja dan sederhananya. Namun Jakob Oetama merupakan guru dan sumber inspirasi bagi banyak orang, termasuk saya secara tak langsung.
Saya mengidolakan, mengagumi, dari banyak aspek kehidupan figur Jakob, pendiri (bersama P.K. Ojong) dan pemimpin umum Kompas Gramedia.
Saya mulai membaca koran Kompas sejak 1989, sedikit-banyak nilai-nilai Kompas (Jakob) memengaruhi perjalanan hidup saya. Dari Kompas dan buku-bukunya, saya mencoba memahami pemikiran, prinsip, cara pandang, kepribadian, sikap, serta kebijakan Jakob.
Saya mencermati nilai-nilai yang ditanamkan dan disebarkannya, terutama soal kemanusiaan, pendidikan, kebudayaan, dan kecintaan terhadap negara Indonesia. Pikiran Jakob senantiasa jernih tanpa prasangka buruk dengan sikap hati yang santun.
Jakob menempatkan lembaga media sebagai lembaga pendidikan bagi masyarakat. Jakob konsisten membangun apa yang dinamakan jurnalisme pembangunan, jurnalisme fakta, dan jurnalisme makna.
Suatu prinsip yang menuntut wartawan terus belajar dalam memperkaya dan memberi penafsiran atas suatu berita, tanpa mengubah fakta yang diperoleh di lapangan, sehingga pembaca bisa cerdas dan tercerahkan. Dengan begitu independensi jurnalistik Kompas tetap kokoh, hingga saat ini 55 tahun terbit menemui pembaca.
Intuisi dan pengalaman Jakob sebagai wartawan yang panjang telah diakui dan dihargai begitu tingggi, puluhan sudah penghargaan dan simbol kehormatan diberikan kepadanya.
Pada 17 April 2003, Jakob menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada. Seperti tertulis dalam buku Syukur Tiada Akhir; Jejak Langkah Jakob Oetama (2012), dalam pertimbangan Senat Akademik UGM, Jakob sejak 1965 berhasil mengembangkan wawasan dan budaya jurnalisme bernuansa sejuk yang menjadi referensi di Indonesia. Sikap boleh keras tapi penyampaian tetap harus lentur dan santun, demikian asas yang dijalankan jurnalis Kompas.
Di bawah Jakob terjadi metamorfosis pers, dari pers yang sektarian menjadi media massa yang merefleksikan inclusive democracy dengan meletakkan nilai manusia dan kemanusiaan pada posisi sentral pemberitaan.
Jasa dan karya Jakob dalam bidang jurnalisme pada hakikatnya merefleksikan jasa dan karyanya yang luar biasa dalam bidang kemasyarakatan dan kebudayaan. Ia juga memberikan pengaruh tertentu pada kehidupan pers Indonesia.