Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Malam Bersejarah Dortmund di Munich

28 Mei 2020   19:20 Diperbarui: 28 Mei 2020   21:36 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayern Munchen begitu mendominasi sepak bola Jerman. Robert Lewandowski sudah dekat dengan gelar kedelapan secara beruntun, sejak 2013. Jose Mourinho bahkan pernah berbicara siapa pun yang menjadi pelatih Munchen, tetap akan menjadi pemenang. Mourinho sebenarnya menyindir rivalnya, Joseph Guardiola, kala melontar pernyataan sarkasme itu.

Namun saya lebih suka pada Borrusia Dortmund ketimbang Munchen. Bahkan jika ada satu klub selain Munchen yang berhasil tampil sebagai kampione Bundesliga, saya ikut merayakan. Selain Dortmund ada beberapa klub yang saya ingat pernah ‘mengganggu’ tahta Munchen, yakni VFB Stuttgart, Kaisarlautern, Werder Bremen, dan Wolsfbrug.

Kesempatan kali ini saya tertarik ingin mengangkat satu momen paling bersejarah bagi klub Ballspielverein Borussia 09 EV Dortmund, yang dikenal sebagai Borussia Dortmund, klub dari lembah Ruhr, negara bagian Nordrhein-Westfalen Jerman.

Hari ini tepat 23 tahun yang lalu, pada 28 Mei 1997, Juventus bertemu Borrusia Dortmund pada final Liga Champions digelar di Stadion Olympia, Munich. Stadion historis sebagai venue final Piala Dunia 1974. Normalnya stadion itu adalah lautan merah, karena merupakan kandang Munchen. Tapi sore-malam final itu warna merah kebanggaan Munchen diokupasi baju dan bendera kuning dan hitam, warna keramat Dortmund.

Dortmund mencapai final untuk pertama kalinya dan menantang Juventus, tim paling gemilang di pertengahan 1990-an. Juara bertahan Liga Champions, memenangkan Serie-A ke-24, mengikuti dua trofi di tahun yang sama: Super UEFA dan Piala Intercontinental.

Juventus terdiri para maestro Zinedine Zidane, Alessandro Del Piero dan Didier Deschamps. Pelatihnya adalah ahli taktik Marcelo Lippi yang sudah setara dengan Arrigo Sacci dan Fabio Capello. Juventus datang ke Jerman dengan kepercayaan diri tinggi, bahkan cenderung pongah. Lippi di konfrensi pers sehari sebelum kick-off menyatakan jauh lebih sulit menjadi Scudetto daripada menjadi juara Liga Champions. Meski terdengar arogan, media dan pakar bola tak ada yang membantah. Bahkan media dan publik Jerman pun sepakat, belum waktunya klub Jerman merusak hegemoni klub Italia.

Borrusia Dortmund, harus diakui tak bisa disandingkan dengan si Nyonya Besar, dilihat dari faktor apa saja. Sejarah, materi pemain, dan pencapaian aktual, tak ada yang memihak tim kuning-hitam ini. Dalam formasi musim 1996-97 itu ada lima pemain Borussia yang berasal dari barisan eks Juventus: gelandang Paulo Sousa dan Andy Moeller, pemain bertahan Jurgen Kohler, Julio Cesar, dan Stefan Reuter. Mereka berkompatriot dengan pemain senior lain Mattias Sammer dan Karl Heinz Rieddle.

Meski bertanding di tanah Jerman, anak asuh Ottmar Hitzfield tersebut disepelekan. Laga final paling jomplang yang pernah saya ketahui. Hanya sedikit yang memprediksi Juventus bakal kalah. Saya termasuk minoritas itu, sangat subyektif—penggemar sepak bola memang selalu begitu.

Final yang meriah tersebut Juventus tampil dengan kostum biru, kontras dengan black-yellow Dortmund. Wasit yang memimpin adalah Sandor Puhl dari Hungaria, wasit terbaik UEFA yang juga mengadili Italia vs Brasil 1994.

Dortmund ternyata tak silau dengan nama besar La Vechia Signora. Pemain senior seperti Sammer dan Moeller menegaskan bahwa untuk memenangkan pertandingan final, perlu persiapan matang, fokus pada hal detail, dan menumbuhkan mental kuat kepada seluruh pemain.

Juventus memang mendominasi laga, tapi pada menit ke-29 melaui tendangan sudut Moeller, terjadi kemelut di kerumunan pemain di area Angelo Peruzzi. Bola menemui Riedle yang mengontrol bola sebelum melepaskan tembakan keras yang menembus gawang, 1-0. Riedle berlari antara gembira dan tidak percaya, ke arah bendera sudut, sebelum tenggelam oleh pelukan rekan satu timnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun