Hari Kamis (8/2) pekan lalu, setelah ujian terbuka selama lebih dua jam,  Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin meyudisium Ichsan Yasin Limpo sebagai Doktor ilmu Hukum. Ichsan, Bupati Kabupaten Gowa dua Periode, dan sekarang Calon Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, sukses dan meyakinkan mempertahankan disertasi yang berjudul  Politik Hukum Pendidikan Dasar Dalam Sistem Pendidikan Nasional, di hadapan Dewan Senat Promotor dan Penguji, termasuk penguji eksternal Prof. Dr. Hamdan Zoelva, mantan Ketua MK, sekaligus alumni Program Doktor Ilmu Hukum Unhas.
Ichsan YL menggugat regulasi hukum dan kebijakan pemerintah dalam penyelenggaran pendidikan di tingkat dasar dan menengah. Terdapat tiga persoalan yang menjadi fokus, yakni : kesatu, Siknronisasi dan harmonisasi pengaturan pendidikan dasar dalam sistem pendidikan nasional; kedua, implementasi pengaturan pendidikan nasional ditinjau dari legal policy; ketiga, bagaimana menciptakan konsep ideal pengaturan pendidikan dasar dan menegah.
Untuk menjawab tiga permasalahan di atas, ditetapkan tiga pendekatan penelitian, yakni: kesatu, pendekatan regulasi (Statute approach) dengan menelaah peraturan perundangan mulai UUD 1945, UU UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan berbagai peraturan turunan hingga tingkat Perda.
Kedua, pendekatan konsep (conceptual approach) untuk memahami dan mengkaji konsep-konsep kewenangan pengaturan pendidikan dasar secara berjenjang kewenangan pemerintah kabupaten/kota, kewenangan provinsi, dan kewenangan pemerintah pusat; ketiga, pendekatan perbandingan (comparative approach) dengan melakukan penelitian penyelenggaraan pendidikan dasar di Australia, Belanda, Finlandia, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Cara perbandingan inilah yang membuat disertasi ini memiliki kedalaman analisa, yang kemudian kita jadi tahu di mana posisi Indonesia dalam bidang pendidikan.
****
Ichsan YL mengutip paparan Anies Baswedan sewaktu menjabat Mendikbud pada acara silatuhrahmi Kementerian yang dilaksanakan Desember 2014, bahwa 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar pelayanan minimal. Kondisi birokrasi dan kondisi pendidikan nasional sudah sangat gawat. Fakta, yang sesunguhnya membuat kita harusnya prihatin.
Satu faktor penyebab keterpurukan pendidikan nasional adalah politik hukum pendidikan, mengenai pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum (beserta kebijakan pemerintah) yang sesuai dengan kebutuhan.
Ichsan YL menyimpulkan bawa pengaturan pendidikan dasar dalam sistem pendidikan nasional tidak siknron dan tidak harmonis dengan kebijakan pendidikan  dasar dan menengah dalam Pembukaan dan Batang tubuh UUD 1945 khususnya Pasal 31; UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya Pasal 2, dan Pasal 12; PP No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan khususnya Pasal 51; dan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah boleh menggalang dana yang bersumber dari orang tua/wali siswa. Ketentuan peraturan yang lebih rendah telah membelokkan atau mengganti maksud dan tujuan dari ketentuan peraturan yang lebih tinggi, bahkan dalam UU yang sama yakni UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas terdapat kontradiksi antara Pasal 2 dengan Pasal 12 Ayat (2) huruf b.
Politik hukum tentunya berpengaruh langsung pada implementasi. Peneliti menilai bahwa pengaturan pendidikan dasar dalam sistem pendidikan nasional kita, telah menyimpang jauh dari semangat pendiri bangsa kita yang tertuang dalam rumusan pandangan Muh Yamin dalam sidang BPUPKI, dan rumusan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 , serta UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, baik dalam proses penyelenggaraan sistem pembelajaran maupun dalam proses penilaian dalam evaluasi belajar yang berjenjang. Justru implementasi dari semangat politik hukum pendidikan dasar kita, ditemukan dalam praktik/implementasi penyelenggaran pendidikan dasar di enam negara yang merupakan lokasi penelitian.
Salah satu masalah pengelolaan sekolah adalah muatan mata pelajaran pada semua jenjang terlalu menekankan pada aspek kognitif, beban siswa terlalu berat, serta minim pengembangan karakter. Di sekolah dasar kita, terdiri dari 11 mata pelajaran dengan beban 30-36 jam perminggu. Di tingkat SMA siswa harus mengikuti 16 mata pelajaran. Padahal di negara-negara maju seperti Finlandia dan Singapura, paling maksimal 9 tagihan mata pelajaran.
Ini kemudian menciptakan 'stres akademik', yang memaksakan, menekan, bahkan mengancam peserta didik. Tidak tercipta atmosfir belajar yang kondusif untuk memberikan ruang yang luas bagi anak untuk mengembangkan kreativitasnya. Padahal kreativitas sangatlah dibutuhkan untuk berinovasi dan berkompetisi di masa yang akan datang.