Pertama film sejarah. Kedua sutradaranya Garin Nugroho. Ketiga aktor utama Reza Rahardian. Saya menggemari ketiganya.
Dua tahun silam saya menulis review film sejarah ‘Soegija’ yang juga besutan Garin. Saking sukanya dengan film itu, saya menunggu karya Garin selanjutnya. Harus sabar, memang. Garin kita sudah kenal bukan sutradara yang mau membuat film setiap tahunnya. Bukan sutradara yang rela didikte paksa pasar industri perfilman. Dia bukan sekadar sutradara, dia budayawan. Selain filmnya, saya selalu menanti esai dan kolom Garin yang acap dimuat koran Kompas edisi minggu.
Kerinduan akhirnya terbayar dengan karya teranyar laki-laki kelahiran Jogja 53 tahun ini, Guru Bangsa Tjokroaminoto. Begitu selesai menontonnya selama 160 menit, saya tak ragu mengatakan bahwa film Tjokroaminoto jauh lebih dahsyat dibandingkan Soegija.
Saya bertanya-tanya atau coba bayangkan bagaimana repot dan sulitnya membuat film tempo dulu yang menuntut menciptakan atmosfer kehidupan jauh sebelum kemerdekaan.
Sedalam apa riset telah dikaji? sebanyak apa pengumpulan referensi dan dokumentasi di masa negara kita belum berdaulat dan masih tunduk pada nama Hindia Belanda? Tapi sekali lagi, Garin adalah Garin, sineas jempolan yang punya standarnya sendiri.
Namun saya tak hendak menuliskan sinopsis film luar biasa ini. Barangkali lebih menarik untuk menulis dengan memberikan apresiasi tinggi pada sederet aktor dan aktris yang berperan mengisi film.
Catatan ini tentang dunia seni peran. Hampir tak ada yang berperan mengecewakan, bahkan musisi Maia Estianti pun bemain cukup baik sebagai mertua perempuan Tjokroaminoto. Maia berpasangan dengan Sujiwo Tedjo yang memainkan karakter Mangunkusomo. Akting Sudjiwo Tedjo sangat natural sebagai priyayi Jawa yang keras memegang kehormatan keluarga bangsawan. Dialog-dialog Sudjiwo yang mengawali setengah jam film sangat hidup dan tak terduga dengan pilihan kata-katanya yang super medok, tapi menghibur.
Alex Komang tak pernah disangka memberikan penampilan terakhir di film biopik ini, sebelum meninggal dunia. Komang berperan dengan baik sebagai Hasan Ali Surati, pedagang India yang turut mempelopori berdirinya organisasi Sarekat Islam di Surabaya. Terus siapa yang kenal dengan Putri Ayudia sebelumnya? Tak ada mungkin, karena ini adalah debutnya di dunia film. Tak tanggung-tanggung, Garin mempercayakan karakter Soeharsikin-istri Tjokroaminoto. Putri yang berlatarbelakang pemain teater kemudian membuktikan kelasnya dengan tampil meyakinkan sebagai figur istri dan ibu konvensional jawa.
Tanpa bermaksud menyampingkan pengisi lain, dua bintang paling bersinar adalah Christin Hakim, dan tentu saja aktor utama Reza Rahadian. Christin Hakim menghidupkan karakter Mbok Tambeng. Aktingnya sangat prima dan semakin enak dilihat. Mata saya tak pernah berkedip setiap adegan yang melibatkan perempuan berdarah Minang ini. Meski sering minim dialog, Cristin menunjukkan kekuatan seni peran dengan mimik wajah dan gestur tubuh yang memikat. Rasanya belum ada aktris kita yang bisa menyamai karismanya bermain peran.
Dan jika kita menyebut nama Reza Rahardian, maka dialah meteor yang melesat paling tinggi dalam dunia perfilman Indonesia. Tak ada yang meragukan ketika Garin mendapuknya sebagai Tjokroaminoto-yang terpaut 105 tahun dari usianya, yang kini baru 28 tahun.
Reza total dan maksimal untuk peran utama ini, terpujilah dia. Reza dalam setiap film yang diperkuatnya tak pernah bermain jelek. Dia sudah membuktikan sebagai aktor watak serba bisa. Reza pernah bermain antagonis dalam film ‘Perempuan Berkalung Sorban’. Pernah pula berperan sebagai supir taksi alim yang gemar nonton film porno dan kemudian masturbasi.