Semua amalan yang dilakukan di bulan yang mulia ini akan di lipat gandakan pahalanya, itulah janji Allah untuk umat manusia yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW. Banyak macamnya amalan yang bisa dilakukan oleh umat manusia. Mulai dari berdzikir dan tadabbur sepanjang hari di rumah Allah, memberikan sebagian hartanya ke fakir miskin atau asnab delapan dan bahkan seperti kaum pemulung yang mengais sampah untuk memenuhi kebutuhan perut mereka. Semua penilaian besar kecilnya amalan itu hanyalah Allah yang tahu.
Pada bagian kedua ini aku akan menceritakan betapa berkah ramadhan setiap tahun selalu kami rasakan. Bagaimana tidak, setiap bulan ramadhan bagi ibu dan bapak adalah lahan untuk mengumpulkan uang dan pahala yang lebih dari bulan-bulan yang lainnya.
Sebagaimana yang saya ceritakan di bagian satu bahwa Ayah adalah seorang guru agama di sebuah madrasah di kampungku. Selain menjadi seorang guru agama, ayah juga punya pekerjaan sampingan sebagai penyadap karet. Setiap hari sehabis sholat subuh ayah sudah berangkan ke darek (sebutan untuk kebun karet yang letaknya jauh dari rumah) untuk menyadap karet. Biasanya jam 12 siang ayah sudah sampai dirumah dengan wajah kecapekan karena selain pekerjaan menyadap karet yang sangat melelahkan juga perjalanan kekebun yang lebih kurang 8 kilometer pulang pergi hanya di tempuh dengan sepeda reseng. Setelah istirahat sebentar ayah lalu mandi dan siap siap ke masjid untuk shalat dzuhur, karena biasanya kalau ndak ada ayah yang azan maka tidak akan terdengar suara azan zhuhur di kampungku.
Pulang dari masjid ayah langsung makan siang (kalau di luar bulan ramadhan) kemudian istirahat sebentar. Sekitar jam dua kurang dia mulai mengayuh sepedanya ke madarasah untuk menunaikan tugasnya yang lain sebagai guru sampai jam lima sore. Diselingi dengan istirahat 15 menit untuk shalat ashar.
Setiap hari ayah selalu mengusahakan untuk pergi kemasjid untuk memimpin shalat berjama`ah, walaupun jama`ahnya hanya beberapa orang dan itupun kebanyakan orang-orang tua yang sudah bau tanah, tapi ayah tak pernah mengeluh dan selalu menjalankan aktifitasnya dengan rajin. Sebenarnya ayah mengidap penyakit paru-paru, sehingga dokter menyarankan dia untuk tidak terlalu memporsir tenaga dalam bekerja dan menjalankan rutinitas sehari-hari. Tapi kadang-kadang ayah tidak memperdulikannya.
Di bulan ramadhan kesibukan ayah semakin bertambah, hampir setiap buka puasa ayah tidak berbuka dirumah. Dia selalu berbuka di mesjid dengan hanya membawa sebotol air putih lalu memimpin shalat maghrib berjama`ah. Selesai shalat barulah ayah pulang untuk berbuka sewajarnya seperti yang di lakukan orang-orang kebanyakan.
Sebagai seorang guru agama di kampong, ayah diberi tugas oleh pengurus masjid untuk memimpin shalat tarawih minimal dua kali seminggu ditambah jadwal ceramah pada malam dan subuh hari minimal dua kali seminggu dan bahkan kadang-kadang lebih. Apalagi kalau penceramahnya dari kota biasanya malas untuk datang kekampung kami yang kecil, sehingga ayah menjadi penceramah serep untuk menggantikan mereka. Namun walaupun seperti itu ayah idak pernah mengeluh.
Biasanya menjelang akhir ramadhan bapak selalu menerima berbagai hadiah ataupun pemberian dari masyarakat baik berupa uang, beras, kain sarung, baju dan banyak lagi yang lain. Bapak selalu bilang, apabila kita selalu ikhlas dalam beramal maka rezeki tidak akan pernah kurang, kita harus percaya bahwa Allah itu maha pemurah katanya. Pemberian itu selalu dikumpulkan oleh bapak, sebagian di berikan lagi ke fakir miskin di kampong dan sebagian lagi di tabungnya.
Tahun 2008 ayah berhasil melunasi biaya naik hajinya berkat tabungannya, sehingga tahun itu nomornya keluar untuk berangkat haji bersama beberapa orang dari kampungku. Ayah sangat gembira dengan akan tercapainya niatnya untuk mengerjakan rukun islam yang ke lima itu. Pada lebaran tahun itu juga adalah lebaran pertama ku tidak merayakannya di kampong bersama dengan keluarga, aku mendapatkan tugas dari tempat kerja untuk mengikuti pelatihan di negeri kangguru Australia selama enam bulan. Aku berangkat bertepatan sepuluh hari terakhir menjelang lebaran. Dengan perasaan bangga ibu, ayah dan beberapa orang keluarga mengantarkan aku ke bandara. Tidak banyak kawan, orang-orang kampong seperti kami ini yang bisa sampai keluar negeri untuk bersekolah, makanya keluarga mengantarkan aku dengan perasaan gembira dan terharu. Ayah memelukku dengan hangat sambil membisikkan pesan.
Nak, jangan pernah tinggalkan shalat!!
Dengan anggukan perlahan aku memandang muka ayah yang tersenyum gembira. Ada sedikit linangan air mata yang menggantung di kelopak mata ayah , aku tidak tahu apa maksudnya.
Dua minggu menjelang keberangkatan ayah ke tanah suci aku menelpon sekedar untuk mengucapkan selamat jalan, dengan berpesan untuk menjaga kesehatan. Ayah tidak banyak berkata, seperti biasanya dia hanya berpesan untuk tidak meninggalkan shalat.
Sekitar 40 hari setelahnya aku menerima telpon dari kakak ku yang paling tua. Aku msih ingat hari itu hari jum`at sekitar jam 11 siang waktu Australia atau jam 5 pagi waktu Indonesia bagian barat. Dengan ketabahan yang di buat-buat, kakakku mengabarkan kepadaku bahwa ayah telah berpulang ke rahmatullah di makkah pada hari itu. Dari cerita ketua rombongan kami dengar bahwa ayah mengalami sesak napas setelah pada malam harinya mengerjakan tawaf wada` (tawaf perpisahan) sebelum pulang ke tanah air. Setelah sampai di pemondokan ayah mengalami sesak napas lalu dibawa kerumah sakit oleh ketua rombongan. Dari cerita mereka juga bahwa tidak lama setelah sampai dirumah sakit ayah menghembuskan napasnya yang terakhir setelah selesai melaksanakan semua rukun haji. Begitulah berita yang dikabarkan oleh kakakku kepadaku.
Aku sangat sedih waktu itu tapi apa yang bisa kulakukan. Tinggal di kost-an sendirian yang jauh di rantau orang tanpa teman. Tapi aku segera teringat pesan ayah untuk segera mandi dan siap-siap untuk shalat jum`at. Selesai shalat aku tafakkur dan mengenangkan senyum terakhir ayah. Ternyata itu adalah senyum terakhir yang di hadiahkan ayah ayah untuk aku anaknya.
Ayah !
Walaupun kita tidak akan bertemu lagi, dibulan ramadhan ini aku meniatkan diri untuk berusaha sekuat tenaga mengerjakan pesan terakhirmu. Semoga engkau diterima Allah seperti senyum terakhirmu kepadaku. Suatu saat aku juga akan mengunjungi mekkah untuk berdo`a di makam mu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H