Bulan lalu, saya berkunjung ke Jakarta untuk menghadiri seminar di salah satu Universitas di daerah tsb. Setelah selesai seminar, saya menuju ke Bogor untuk mengunjungi sahabat lama saya. Saat saya menaiki KRL, rasanya tidak ada yang aneh, yang ada hanya penuh sesak para penumpang. Bahkan dalam keadaan berdiripun sulit sekali untuk bergerak.
Beberapa saat kemudia KRL yang saya naiki berhenti di sebuah stasiun di daerah Depok, dan ada seorang Ibu paruh baya membawa bawaan yang cukup banyak beserta Anak laki-laki nya yang masih sangat belia, mungkin usianya sama dengan Anak sekolah menengah atas. Pandangan sang Ibu berkaca-kaca, melihat keadaan sang Anak yang terlihat seperti Anak keterbelakangan mental.
Dalam keadaan masih berdiri, Ibu tersebut mencoba menenangkan Anaknya yang berkata “muntah… muntah..“ dan sontak saya yang berada di sebelahnya merasa khawatir, namun sebisa mungkin jika Anak tersebut jadi muntah, saya tidak terkena muntahannya itu. Mata sang Ibu semakin berkaca-kaca sambil meminta Anaknya duduk di atas barang bawaannya yang rupanya merupakan kumpulan sampah plastic hasil memulung. sesekali sang Ibu mengelap air matanya dengan kerudung yang Ia kenakan.
Dalam perjalanan saya merasa iba dengan keadaan tersebut, tapi apadaya, dengan kondisi yang tidak bisa bergerak dalam himpitan manusia, saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk seorang Ibu yang sangat kuat itu. Ketika gerbong mulai renggang, dan kursi mulai kosong, Ibu dan Anak tersebut masih saja duduk di lantai, seolah rasanya mereka merasa tidak layak untuk duduk di kursi itu karena mereka hanya seorang pemulung, ingin rasanya saya berkata “mari bu, silahkan duduknya di atas” namun niat itu terkikis setelah melihat sang Ibu sudah terlelap di lantai gerbong tersebut.
Saat itu saya merasa sedih, karena saya jarang sekali bersyukur terhadap nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada saya, di tengah hangatnya kasih saying keluarga, walau penuh dengan kesederhanaan.
Sebetulnya kasus Ibu dan Anak ini hanyalah sebagian kecil dari realita yang ada di jalanan, karena sebelum semua gerbong KRL diubah menjadi kelas ‘executive’, sangat banyak sekali orang-orang seperti Ibu dan Anak ini yang butuh perhatian dari kita semua khususnya pemerintah daerah. Beberapa tahun sebelumnya ketika saya juga berkunjung ke Jakarta dan menggunaka KRL, saat menaiki KRL ekonomi saya pernah melihat seorang Anak berusia 13 tahun yang sedang membawa Koran dan duduk di pintu kereta. Lalu saya mencoba menghampirinya dan mengajak berbicara, mengapa dia tidak bersekolah dan malah berjualan Koran. Sedangkan pemerintah saat itu sangat berisik dengan slogan “wajib belajar Sembilan tahun”.
Lalu kami terlibat dalam pembicaraan. S itu saya, dan A itu adalah sang Anak.
S : “kenapa kamu ga sekolah dek?”
A : “sekarang sedang lIbur sekolah om, saya masih sekolah kok di SMP”
S : “terus ngapain disini sendirian”
A : “ya jualan om, cari uang buat nambah uang jajan”
S : “emang mau jadi apa dek kalo sudah besar nanti?”
A : “saya mau jadi pemain bola, om”
S : “yaudah semangat ya dek, tapi tetap harus belajar yang rajin yaa”
A : “iya om makasih ya”
Hmm, dengan banyaknya realita di jalanan tepatnya di KRL ini membuat saya tersadar betapa beruntungnya saya dan menjadi termotivasi untuk membantu mereka di masa yang akan datang. Tugas rumah yang cukup berat bagi pemerintah maupun kita warga negara yang punya kesadaran untuk mengurangi kesenjangan social di kalangan masyarakat. Semoga bisa dibantu dalam waktu dekat ini. Aamiin :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H