Tidak. Saya membuka indera pengamatan saya seluas-luasnya terhadap anak -- apa yang membuat ia bingung atau mental? Â Dan sekali lagi, saya tidak menjadikan target-target kurikulum di tiap semester atau di tiap tahun menjadi target belajar anak saya.
Belum lama ini, seorang teman bertanya kepada saya ketika melihat saya membuat soal latihan tentang mengubah pecahan menjadi desimal sesederhana mengubah setengah menjadi desimal. Teman ini  bertanya, untuk siapa soal itu? Untuk anak sulungku, saya jawab. Langsung dia bingung, lho kok masih belajar itu? Ia tahu anak sulung saya sudah kelas 1 SMP. Sementara anak bungsunya yang masih kelas 4 SD sudah diberikan pelajaran yang sama.
Saya jawab, "Ya ga apa apa. Untuk sebagian anak, desimal itu masih abstrak. Ngulang yang dasar-dasar tidak masalah, yang utama anaknya mengerti." Kawan ini lanjut bercerita kalau anaknya yang di kelas 4 itu bingung tidak mengerti soal desimal di kelasnya tetapi bagaimana tetap harus mengikuti perjalanan materi yang sudah ditentukan.
Kalau dilihat dari kacamata sekolah formal, kelas 1 SMP itu sepertinya sudah termasuk besar, sudah harus bisa menyelesaikan soal-soal matematika yang lebih rumit. Tetapi kalau dipikir lagi, kita mundur sejenak dan berpikir, kelas 1 SMP itu berarti rata-rata anak-anak berusia 12-13 tahun. Usia yang masih muda sekali. Nah, apakah di usia itu kalau belum paham desimal -- berarti dia lamban atau bodoh? Apakah di usia itu ketika anak baru paham mengubah pecahan menjadi desimal -- berarti dia terlambat dan pasti gagal di kehidupan dewasanya?
Mungkin dari pembaca akan berkata, ya memang idealnya sih tidak masalah, tetapi kan di sekolah tidak bisa begitu. Harus ikuti kurikulum.
Terus terang, untuk anak -- saya belajar untuk selalu memberikan yang ideal, yang bersumber dari pengamatan, perenungan, juga pembelajaran (dari buku, orang lain, komunitas, dan lainnya). Bukan asal comot tren atau mengikuti jalurnya orang kebanyakan. Buah dari proses belajar seperti itu adalah hubungan yang lebih baik antara saya dan si anak. Anak tahu ia dihargai dan dihormati. Dan yang mengejutkan, dari yang tadinya ia tidak suka setiap saya ajak belajar matematika, kini ia merasa suka. Kenapa? Karena dia tahu, dia boleh belum mengerti. Ia tahu bahwa saya menerima keadaannya, bahwa saya akan mengajarkan sesuai cara yang ia bisa pahami.
Tahukah Anda, banyak sekali anak-anak yang kembali kursus pelajaran di luar sekolah? Jangan-jangan bukan salah si anak, tetapi milestone kurikulum yang tidak sesuai kodrat dan tahap belajar anak. Maksudnya tidak sesuai? Nih satu contohnya.
Pada buku teks matematika kelas 7 anak saya, ada pokok bahasan tentang aritmetika sosial: tentang menghitung laba, rugi, persen bunga bank, tara, bruto, netto. Bukan niat saya komplain tanpa alasan -- tetapi apakah aritmetika sosial seperti itu ada atau hadir dalam keseharian anak-anak kelas 7 usia 12-13 tahun?
Pokok bahasan ini seolah-olah diselipkan (entah oleh siapa), entah apa urgensinya. Tentu, pasti, ada banyak anak yang mampu mengerjakan soal-soal macam itu. Namun, lantas apa? Apakah dengan mereka bisa mengerjakan, logika dan kematangan analisa mereka menjadi matang? Atau sekedar komestik, superficial, berupa nilai cantik di lembar ujian?
Pokok bahasa aritmetika sosial sepertinya simpel. Padahal kompleks. Di situ ada kehadiran bilangan bulat, pecahan, desimal dan persen -- yang saling berinteraksi dalam suatu operasi hitung. Sering anak masih bingung bagaimana menerjemahkan sebuah soal cerita menjadi sebuah operasi hitung yang melibatkan salah-satu atau lebih dari perkalian, pembagian, penjumlahan dan pengurangan. Perlu nalar yang sesuai untuk tiba pada pemecahan soal seperti itu. Setuju?
Mungkin banyak dari kita setuju, tetapi mau bagaimana? Di sekolah formal, hampir mustahil untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap cara belajar anak. Mau tidak mau mengikuti tata cara belajar di sekolah. Betul.