Mohon tunggu...
Christine Setyadi
Christine Setyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - a mother of two yang lagi bucin dengan kisah-kisah sejarah

to write is to heal and empower.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sejalankah Kurikulum Pendidikan Bangsa Ini terhadap Kodrat dan Tahap Belajar Anak?

30 Desember 2022   21:39 Diperbarui: 30 Desember 2022   21:49 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sudah hampir 5 tahun saya menyekolahrumahkan anak. Bukan perjalanan mudah. Banyak kesalahan, banyak perenungan. Tetapi rasa-rasanya, meski jatuh bangun, saya tidak pernah menyesali keputusan saya untuk menyekolahrumahkan kedua anak saya.

Jika boleh berbagi, satu hal yang saya nilai sebagai sebuah pencapaian saya sebagai seorang ibu homeschooler, adalah pola pikir dan tindakan saya yang berhasil berubah. Berubah? Apa yang berubah?

Saya tidak lagi menjadikan anak saya budak dari worksheets, budak dari drilling soal, budak dari pencapaian akademis, atau budak dari milestone kurikulum sekolah. Saya menjadikan anak saya tuan di dalam proses pendidikannya.

Anak sulung saya sempat bersekolah hingga kelas 2 SD. Sayapun bersekolah formal hingga lulus SMA dan berkuliah. Kalau saya tengok ke belakang, pola pembelajaran di sekolah itu sama dari dulu hingga hari ini: materinya banyak, sementara yang dibahas hanya permukaannya saja. Menghafal fakta, menghafal rumus, mengerjakan soal-soal yang banyak.

Ibaratnya kalau kita diundang makan di sebuah perjamuan, kita dihidangkan udang rebus misalnya. Tetapi kita tidak boleh terlalu berkomentar soal udang itu. Akan ada petugas yang menyuapkan udang itu ke mulut kita, kita langsung mengunyah dan menelan. Dan kita akan dibriefing tentang udang, bahwasanya udang itu rasanya manis, enak. Dan bahwa udang itu bisa dimasak dengan direbus, dibakar atau dibuat sop. Titik. Setelahnya menu makanan berganti menjadi kuah bayam. Perlakuan serupa kita terima soal kuah bayam. Nanti akan ada hari-hari tertentu dimana kita ditanyakan soal udang dan kuah bayam. Jawaban kita harus sesuai dengan yang diajarkan sebelumnya.

Apakah perumpamaan ini berlebihan? Jangan-jangan tidak.

Seperti itulah umumnya pendidikan formal yang dialami anak. Apa yang menjadi materi belajar, bagaimana cara belajarnya, kapan belajarnya, bagaimana seharusnya memandang sebuah pokok bahasan, ditentukan oleh orang lain yang dianggap paham.

Gaya sekolah formal jaman sekarangpun tidak berbeda. Bahkan mungkin lebih parah. Masuk sekolah dasar, anak sudah diharuskan bisa membaca. Ramailah kursus membaca untuk anak TK. Bahkan ada yang pada usia 3 tahun sudah dileskan membaca. Lebih cepat, lebih pintar. Mungkin begitu pikiran banyak orangtua.

Yang juga sama parahnya, sekolah jaman sekarang (mungkin karena merasa terdesak oleh globalisasi) seolah berlomba memberikan dua atau tiga bahasa sejak kelas 1 SD. Bahasa Inggris dan bahasa Mandarin umumnya. Pelajaran komputerpun diberikan di awal sekolah dasar. Seperti takut tertinggal. Sayangnya, ketakutan tertinggal itu tidak dibarengi dengan pemahaman soal kodrat anak, dan soal kodrat pembelajaran sebuah ilmu.

Contohnya, sebuah bahasa dipelajari seyogyanya adalah dari mendengar terlebih dulu. Bukan pertama-tama dari membaca atau menulis. Tetapi yang dilakukan para pendidik malah terbalik. Bahasa Mandarin, yang entah berapa persen digunakan oleh masyarakat kita, langsung diajarkan terburu-buru ke menulis huruf-huruf Mandarin. Dan diujiankan. Yang dikejar adalah angka manis di atas kertas. Padahal, apa sih tujuan kita belajar bahasa pada hakikatnya? Ayo apa coba? Buat nilai rapor? Buat gaya-gayaan? Buat apa sih? Merenunglah.

Kembali kepada topik berubahnya saya sebagai pendidik anak saya, maksud saya apa sih dari anak tidak lagi menjadi budak dari A, B dan C, dan menjadi tuan atas proses pendidikannya? Maksud saya adalah, saya sebagai pendidik anak, kini banyak mengamati dan merenung. Ketika anak tidak memahami suatu pokok bahasan, atau tidak tertarik suatu materi yang hendak dipelajari -- saya tidak lagi menjadikan anak sebagai faktor penyebab. Kok dia lambat? Kok dia bodoh? Masa begini aja tidak bisa? Bagaimana mau naik kelas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun