Mohon tunggu...
Christine Setyadi
Christine Setyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - a mother of two yang lagi bucin dengan kisah-kisah sejarah

to write is to heal and empower.

Selanjutnya

Tutup

Film

American Sons: Kisah tentang Prasangka, Stereotipe, Kebencian Antar Dua Ras

1 Oktober 2022   11:19 Diperbarui: 1 Oktober 2022   11:27 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Kita semua hampir pasti bisa menyebut nama-nama aktor Hollywood kulit hitam yang mumpuni. Begitu pula penyanyinya, komedian atau pemain basket. Eksistensi mereka diakui bukan cuma di negerinya sendiri, tetapi juga di seluruh dunia.

Berbarengan dengan itu, hampir pasti kita semua juga tahu bahwa diskriminasi rasial terhadap penduduk kulit hitam bukan sekedar isu di Amerika Serikat. Here and there, it happened.  

Film American Sons tayang di Netflix baru-baru ini. Film berdurasi 2 jam ini bercerita tentang prasangka, stereotipe, kebencian. Juga cinta. Antara dua ras: kulit hitam dan putih.

Seorang ibu kulit hitam mendatangi kantor polisi setempat karena hingga dini hari anaknya yang berusia 18 tahun, tidak ada kabar. Ia pergi bersama dua temannya yang juga berkulit hitam, dengan mengendarai mobil. Sang ibu begitu cemas. Ia kuatir anaknya diprasangkai buruk oleh polisi kulit hitam dan kemudian ditangkap begitu saja tanpa alasan jelas.

Seorang polisi muda, berkulit putih, menerima laporan si ibu. Karena melihat warna kulit sang ibu, ia langsung memberikan pertanyaan-pertanyaan stereotipe orang kulit hitam: apakah bertato, apakah bergigi emas, apakah pernah ada catatan kriminalitas, apakah berambut gimbal, dan sebagainya.

Kisah ini semakin menarik ketika sang ayah menyusul datang ke kantor polisi. Sang ayah ternyata berkulit putih. Ya betul. Anak mereka adalah anak campuran. Si polisi muda langsung saja berubah sikap dan melayani dengan lebih serius laporan anak yang hilang ini.

Hingga di situ, mungkin kita langsung terburu-buru menyimpulkan film ini semata soal pembelaan terhadap orang kulit hitam. Nope it's not.

Ikuti terus alurnya hingga sampai pada terkuak bahwa polisi yang menangkap anak tersebut ternyata juga berkulit hitam. Dan kepala humas kantor polisi yang menyampaikan informasi kepada si Ayah dan Ibu soal anak mereka, juga berkulit hitam.

Kisah ini awalnya dirangkai untuk pertunjukan teater di Broadway. Itulah mengapa kekuatan narasinya bertumpu pada dialog. Dengan jumlah pemain hanya 4 orang, dialog yang dibangun antar pemain bisa dikatakan begitu intens.

Bagi saya, banyak sekali pelajaran berharga yang bisa diambil dari film ini. Saya tidak akan membuat spoilernya. Dengan segala kerumitan di dalamnya, film ini sangat indah. Dialog-dialog antar pemain seolah adalah sebuah kontemplasi yang biasanya terjadi di dalam pikiran manusia, tanpa orang lain tahu. Hingga akhirnya perjalanan kontemplasi itu tiba di ujung terowongan dan melihat cahaya. Sebuah pencerahan. (Christine Setyadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun