Foto: https://www.morethanabody.org/objectification-leggings-blame/
Banyaknya kasus pelecehan dan pelanggaran hukum terhadap hak-hak wanita di negara ini sungguh membuat miris hati banyak perempuan Indonesia. Mulai dari seorang ibu yang dijatuhkan dakwaan bersalah ketika memarahi suaminya saat pulang mabuk hingga mahasiswi yang dicoret dari daftar yudisium karena melaporkan kekerasaan seksual di kampusnya. Wanita masih dianggap sebagai second class dalam berbagai tatanan masyarakat. Tak hanya dalam budaya timur, praktek wanita sebagai second class juga terjadi secara subtle dalam budaya barat. Sering kita melihat bagaimana aktris atau politisi wanita dunia barat menuntut kesetaraan dalam upah yang mereka terima. Mereka melakukan pekerjaan yang sama seperti para kaum adam tapi apa yang mereka terima lebih kecil jika dibandingkan dengan apa yang diterima oleh para pria.
Rasa-rasanya, tidak salah jika kita mengkaitkan ini pada budaya patriarki yang tersebar hampir di seluruh ujung bumi. Pria adalah sosok utama dalam kehidupan dan wanita hanyalah sebagai pelengkap sehingga suara mereka cenderung diabaikan. Hal ini ditambah dengan kisah penciptaan yang tercatat di berbagai agama/kepercayaan yang mendominasi muka bumi bahwa pria yang diciptakan pertama lalu kemudian wanita dihadirkan sebagai pelengkap. Rasa-rasanya agama (dalam batasan tertentu sebagai perkembangan dari kebudayaan) turut mendukung hal tersebut.Â
Menarik memperhatikan bahwa terlepas dari praktek patriarki yang merata hampir di seluruh muka bumi, wanita telah menjadi objek kebudayaan selama berabad-abad dan dengan double standard yang diterapkan pada wanita. Di Indonesia sendiri, kita melihat di beberapa suku bagaimana pernikahan juga berarti membayar mahar atas wanita kepada keluarga. Hal ini sebagai bentuk terima kasih kepada keluarga karena telah membesarkan anak gadisnya hingga akhirnya siap untuk dipinang. Bertolak ke negeri Tiongkok, ada masa dalam dinasti Tang di abad 19 dimana standar wanita yang menarik bagi pria adalah mereka yang memiliki kaki kecil. Budaya foot-binding ini menjadi sangat menyiksa karena pertumbuhan tulang kaki ditekan sedemikian rupa dengan menggunakan sepatu yang jauh di bawah ukuran wanita dewasa. Di dunia barat, kita melihat penggunaan korset dan gaun untuk menciptakan bentuk tubuh ideal di era Victoria. Bukan hanya menciptakan bentuk tubuh ideal, wanita juga diharuskan mengenakan gaun berkerangka yang sangat memberatkan saat digunakan berjalan.
Bergeser pada masyarakat modern, double standard yang semakin dihidupi adalah bagaimana wanita harus mampu melakukan fungsi majemuknya dengan baik. Karena perkembangan masyarakat kapitalis dan pemberdayaan wanita yang cukup pesat, wanita modern bekerja dan turut berpendapatan bagi keluarga. Tanpa disadari, hal ini membawa pada sebuah tanggung jawab baru bagi wanita: wanita harus bisa menjadi ibu, istri dan karyawan/professional yang baik. Sungguh miris jika dikaitkan dengan keadaan di awal bahwa ketika wanita mampu melakukan tugasnya dengan baik, nyatanya pendapatan mereka kurang jika dibandingan dengan pria mengerjakan hal yang sama.Â
Mulai dari pelecehan seksual, suara yang berusaha dibungkam, ketidaksetaraan tatanan masyarakat/sosial yang diterima wanita, semua lingkaran hitam perlakuan pada wanita sudah saatnya menjadi sebuah pencerahan bersama. Wanita tidak bisa dianggap sebagai second class. Peradaban dunia dilahirkan dari wanita. Orang-orang hebat pembentuk peradaban dibawa ke dunia ini oleh wanita. Wanita dalam realitanya telah menunjukkan bagaimana mereka berusaha melaksanakan tanggung jawab yang ditetapkan masyarakat dengan baik seiring dengan perubahan jaman. Wanita secara global merangkul perananannya untuk mampu menjadi ibu, pasangan maupun professional dengan baik. Kita melihat Jacinda Ardern, Queen Elizabeth II, Angela Merkel dan Sanna Marin mengemban tugas mereka dengan luar biasa.
Mengacu pada kasus pelecehan di tanah air dan tren global tentang peranan wanita, sudah saatnya kita berkata 'educate your son' and 'protect your daughter' dalam waktu yang bersamaan. Objektivikasi wanita sudah saatnya berhenti dengan memahami bahwa wanita dan pria memiliki perannya masing-masing dalam menciptakan tatanan yang jelas dan seimbang. Dengan memahami dua frasa ini niscaya tidak ada ketimpangan dalam peranan masing-masing gender dalam masyarakat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H