Bagi yang belum tahu apa itu speed trap, istilah tersebut merujuk pada polisi tidur kecil-kecil yang biasanya dipasang berderetan secara melintang pada sebuah ruas jalan. Dalam Bahasa Indonesia, alat tersebut disebut sebagai pita penggaduh, sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pengguna Jalan. Pada pasal 33 dijelaskan bahwa alat tersebut berfungsi untuk 1) mengurangi kecepatan kendaraan, 2) mengingatkan pengemudi tentang objek di depan yang harus diwaspadai, 3) melindungi penyeberang jalan, dan 4) mengingatkan pengemudi akan lokasi rawan kecelakaan.
Salah satu contoh bagus untuk melihat seperti apa speed trap adalah di ruas Jalan Kaliurang, khususnya antara Mirota Kampus hingga Kampus MM UGM yang berada di samping Gedung Pusat UGM. Pada ruas yang tidak terlalu panjang tersebut dipasang beberapa speed trap yang berselang-seling antara lajur kiri dan kanan. Pemasangan yang tidak penuh sepanjang ruas jalan itu menyebabkan banyak pengguna yang bermanuver sehingga mampu menghindari 'halangan' tersebut. Seringkali dapat dilihat bagaimana para pengendara meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan sehingga tidak melewati speed trap yang memang sedikit banyak akan mengurangi kecepatan dan kenyamanan berkendara.
Perilaku itu bukan hanya dilakukan oleh pengendara roda dua, tapi juga roda empat, meskipun hanya bagian roda sebelah kanan yang dapat menghindar. Perilaku itu banyak dilakukan, meskipun sesungguhnya cukup berbahaya karena memakan bagian lajur pengendara dari arah berlawanan. Bagi pengendara yang berusaha mengikuti aturan, perilaku tersebut cukup mengesalkan. Ada beberapa indikasi seperti apa karakter pengendara yang suka melakukan hal tersebut.
Pertama, orang tersebut tidak dapat menangkap substansi sebuah permasalahan. Pemasangan speed trap dilakukan dengan berbagai tujuan sebagaimana disampaikan dalam Peraturan Menteri di atas, namun mereka melihat speed trap hanya sebagai penghalang yang mengurangi kecepatan dan kenyamanan berkendara. Untuk itu mereka dengan berbagai cara akan melakukan tindakan agar kecepatan dan kenyamanan berkendara tidak berkurang. Maka dilakukanlah berbagai manuver tersebut. Pola pikir semacam ini sesungguhnya cukup berbahaya, karena orang semacam ini susah untuk menangkap kebenaran alih-alih menangkap simptom sebagai inti permasalahan. Orang macam ini yang mungkin menyebabkan berbagai permasalahan hidup tidak selesai-selesai, karena ketika diberi pengertian justru akan berakibat debat kusir yang tak kunjung usai.
Kedua, orang tersebut tidak konsekuen alias cemen. Kalau memang mau tetap melaju dengan kecepatan yang tetap harusnya mereka menanggung konsekuensi merasakan goncangan ketika melewati speed trap. Itu adalah konsekuensi hidup yang harus ditanggung. Tapi karena cemen, maka mereka memilih untuk menghindar bukannya menghadapinya. Orang seperti ini mungkin juga suka menghindar dari permasalahan, kalau tidak malah menyalahkan orang lain ketika ada permasalahan yang dihadapi.
Ketiga, orang tersebut sudah menangkap kebenaran meskipun sudah dicontohkan di depan mata. Seringkali dengan sengaja kita memberi contoh bahwa ketika melewati speed trap selaiknya kita tetap berkendara dengan lurus dan mengikuti jalur yang ada dengan menurunkan kecepatan. Namun bagi mereka yang terbiasa bermanuver, hal itu tidak banyak berpengaruh, meskipun seberapa banyak dan sering yang memberi contoh, namun orang-orang itu tetap melakukan hal yang sama. Dengan kata lain, mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang bebal.
Tentu tanpa sebab saya menulis hal ini. Perilaku berkendara adalah cermin dari karakter dari pengendara tersebut. Banyak orang bilang, orang Indonesia menjadi sangat liar dan ganas ketika berada di belakang kemudi, sehingga dapat ditemui berbagai perilaku pengemudi yang kemudian viral di media sosial. Mungkin karena ketika di jalan kita berada dalam kondisi setengah anonim di mana tidak semua orang mengenal diri kita, sehingga karakter bawah sadar yang terkekang menjadi terlampiaskan. Sesungguhnya hal tersebut tidak banyak menguntungkan, bahkan mungkin lebih banyak merugikan. Apalagi menurut Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri tahun 2022, perilaku berkendara merupakan faktor dominan terjadinya kecelakaan. Mari kira biasakan untuk santun dan beradab, di manapun kita berkendara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H