Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Senangnya Menjadi Generasi 80an

1 Juli 2015   14:38 Diperbarui: 1 Juli 2015   14:38 1444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari ini sedang diharu biru oleh kehadiran teman-teman waktu SD dulu di Grup WA, yang telah lulus 30 tahun yang lalu. Banyak teman yang lama tidak bertemu, atau bahkan belum pernah bertemu kembali setelah sekian lama terpisah, sehingga perangkat telekomunikasi menjadi riuh rendah oleh celoteh teman-teman, yang ternyata tetap berperilaku sebagaimana dulu sewaktu SD: saling mengejek, jodoh-menjodohkan, mengenang permainan dan hobi waktu kecil, yang ternyata begitu manis dan indah diingat saat ini.

Terhanyut oleh keasyikan itu, tiba-tiba saya teringat dengan anak-anak saya yang bertumbuh di era yang begitu berbeda kini. Dahulu kami tumbuh dalam sebuah lingkungan yang relatif dekat satu dengan lainnya. Sekolah kami, SD Bantul III berada di pusat ibukota Kabupaten Bantul, dengan para murid yang tinggal di sekeliling sekolah tersebut. Kami waktu itu dengan leluasa berangkat ke sekolah sendirian tanpa diantar orang tua, meski baru di kelas 1 SD, demikian juga ketika pulang sekolah. Memang ada banyak teman yang searah yang biasanya ketemu di jalanan, lalu bisa berangkat dan pulang bersama-sama.

Suasana kota kecil kami waktu itu juga masih relatif sepi, dengan infrastruktur jalan yang belum sebagus dan semulus sekarang. Dapat dibayangkan, di tepi jalan utama ibukota kabupaten itu terdapat rel kereta api yang tidak lagi aktif, yang mungkin memakan hampir separo badan jalan yang tidak begitu lebar itu. Di sela-sela rel kereta api itu tumbuh rerumputan dan jalan setapak tempat kaki-kaki kecil kami terbiasa menapakinya menuju sekolah. Di sisi rel terdapat sungai yang tidak begitu besar, tempat kami seringkali tergoda untuk menceburkan diri mencari sekedar ikan cethul dan kadang-kadang ikan berhidung lancip seperti hiu itu, entah apa namanya.

Suasana kota yang begitu tenang dan nyaman semacam itu mungkin membuat para orang tua kami memberi kebebasan kami untuk bergerak dan beraktifitas bersama teman-teman. Masih teringat bagaimana kami bermain menelusuri pematang sawah dan sungai mencari ikan, mencari belut, lalu melakukan berbagai macam permainan tradisional seperti gobag sodor, dhelikan, main layangan dan sebagainya. Anak-anak perempuan, sebagaimana banyak diperbincangkan di Grup WA ternyata banyak yang suka memasak bersama-sama dan kemudian dinikmati di rumah mereka bersama-sama. Kami juga leluasa melakukan aktifitas luar sekolah seperti melakukan latihan karawitan, belajar bersama di rumah guru dan sebagainya. Masa-masa indah yang mungkin tak akan pernah terulang kembali sampai kapanpun.  Kenangan-kenangan itu yang mungkin menjadi pengikat kami sehingga begitu mudah lebur lagi menjadi anak-anak sebagaimana dulu, ketika faktanya usia kami sudah memasuki kepala 4 ini.

Mengingat pengalaman waktu kecil itu dan membandingkan dengan sekarang, terasa ada yang merisaukan. Anak-anak sekarang mungkin tidak lagi banyak berinteraksi di luar sekolah, dengan berbagai perbedaan kondisi yang melingkupinya. Mereka bersekolah bukan di tempat terdekatnya tinggal, dan kalaupun bersekolah di tempat terdekat mereka tidak dibebaskan begitu saja ke sekolah sendirian bersama teman-temannya. Lalu lintas yang semakin ramai, berbagai kejahatan seperti perampasan dan penculikan, merupakan beberapa alasan sehingga orang tua lebih protektif terhadap anak-anaknya. Pada anak-anak yang bersekolah jauh dari tempat tinggalnya, mereka harus diantar jemput baik oleh orang tua, sopir maupun kendaraan sewa. Hal ini menjadikan mereka tidak banyak berinteraksi untuk bermain dengan teman-temannya secara mandiri. Ditambah lagi, keberadaan berbagai gadget dan piranti permainan elektronik seringkali lebih menarik dan menyedot perhatian anak-anak dibandingkan bermain dengan teman-temannya. Demikian juga berbagai acara televisi yang seringkali memaku anak-anak itu di depan layar kaca tanpa bergerak menyimak berbagai acara yang belum tentu mendidik. Walhasil, mereka sepertinya lebih banyak bermain bersama benda-benda mati itu dibanding teman-temannya.

Mengingat hal itu, memang layak, kami sebagai generasi yang dibesarkan di era 80an merasa bersyukur karena lahir di masa-masa menyenangkan dan indah itu. Dan mengingatnya, selalu ada kerinduan untuk kembali, yang mungkin hanya sekedar kerinduan, karena tidak mungkin terjadi lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun