Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Renungan Wastafel #2: Susahnya Move On

24 Februari 2016   11:24 Diperbarui: 24 Februari 2016   12:17 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini sebenarnya sambungan dari tulisan kemarin mengenai renungan pada waktu menyikat gigi. Ada satu hal yang belakangan terasa berbeda ketika menyikat gigi, yaitu susah menggerakkan sikat gigi dengan lebih lincah ke segala arah. Kecenderungannya adalah, gerakan sikat selalu pada arah yang sama, misalnya gerakan mendatar pada geraham atau naik turun pada gigi depan. Gerakan itu cenderung monoton seperti ada kekakuan otot-otot lengan yang membuat susah merubah arah gerakan untuk menyikat pada bagian gigi lainnya. Entahlah, mungkin ini serupa gaya kelembaman pada fisika yang menyebabkan benda akan cenderung melakukan gerakan yang sama kalau tidak terjadi intervensi dari luar. Dalam kasus menyikat gigi, sebenarnya terdapat intervensi berupa kemauan pikiran dan gerakan otot, namun seringkali terkalahkan oleh gerakan otot yang sepertinya susah berubah arah.

Hal itu sebenarnya memberikan banyak perenungan, misalnya tentang comfort zone dan keengganan untuk berubah. Banyak orang, juga mungkin diri saya sendiri untuk cenderung susah meninggalkan zona nyaman, menjalankan segala rutinitas dan akhirnya serasa seperti robot tanpa jiwa. Memang mungkin semua saling terkait dengan latar belakang pengalaman, pendidikan sedari kecil dan karakter diri seseorang. Seorang yang dididik untuk berjalan dalam zona aman, dengan berbagai kenyamanan hidup, ada kemungkinan akan juga cenderung mencari dan menikmati kenyamanan tersebut. Hal paling nyata sebenarnya adalah pada diri saya sendiri, yang mungkin memang tidak selalu mampu mengekspresikan segala sesuatu dengan tindakan nyata, sehingga jalan hidup pun mungkin jadi seperti biasa-biasa saja, tidak banyak gejolak dan gelombang, dan yang paling jelas adalah pilihan pekerjaan yang cenderung seperti seorang yang captive dan tak punya pilihan lain. Sejujurnya, pekerjaan yang saya lakoni sekarang juga buah dari keengganan untuk move on dan meninggalkan zona nyaman. Untungnya, pekerjaan yang semula hanya serupa cantolan sementara ketika susah mencari kerja di era pasca krisis ekonomi ini perlahan menemukan bentuknya. Dari sekedar proyek dosen yang dikelola semi profesional hingga menjadi bagian struktur lembaga penelitian sebuah universitas yang cukup terpandang. Namun demikian, sikap mencari aman dan nyaman itu tetaplah tidak pernah lepas dari diri saya, yang seperti buih yang mengapung mengikuti arah gelombang.

Padahal seperti kata orang, dunia hanya milik orang-orang pemberani, yaitu mereka yang memiliki kemampuan untuk mengenali kemauan, melakukan prinsip yang diyakininya dan memiliki keteguhan untuk mengatasi semua permasalahan, yang akhirnya menjadi pemenang dan memiliki dunia. Dan mereka, orang-orang pemberani itu sesungguhnya yang patut dihormati dan diberi tabik hormat, bukan orang-orang pengecut dan penakut yang biasa bersembunyi di balik ketiak dunia, mengintip kesempatan, dan seringkali tak segan untuk menusuk dari belakang.

Ah renungan wastafel ini jadi melebar kemana-mana, entah sesuai atau tidak dengan niat semula, yang jelas hanya sekedar ngudarasa dan menarik hikmah dari peristiwa yang ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun