Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyoal Gaya Bicara Para Aktifis Mahasiswa Itu

20 Mei 2015   13:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:47 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14321041862010877639

Apabila kita diminta mendengarkan kata-kata ini, coba tebak kira-kira siapakah yang berbicara dan dalam kondisi apakah hal ini terjadi?

“Kami awalnya mau demo tanggal segitu, tapi ternyata tanggal 20 ada yang mainin *****. Makanya, kami jadi tanggal 21.”

Menyimak ucapan itu, mungkin yang terbayang adalah sales penjual alat masak yang sedang merencanakan demo alat-alat masaknya di hadapan ibu-ibu PKK. Padahal sesungguhnya, itu adalah ucapan yang disampaikan oleh Andi Aulia Rahman, Ketua BEM UI yang didaulat rekan-rekannya sesama petinggi BEM se Indonesia yang diundang Presiden ke Istana pada hari Senin, 18 Mei 2015 (lihat berita berikut).

Ada yang memprihatinkan menyimak cara berkomunikasi mahasiswa tersebut. Kalau dianalogikan mereka adalah tokoh-tokoh pimpinan mahasiswa yang teruji dalam berdiskusi, berdebat dan menyampaikan pendapat, lalu bagaimana kualitas para mahasiswa yang hanya terbiasa diam menyimak pelajaran di kelas, membaca buku di perpustakaan lalu pulang? Seperti apa kualitas komunikasi mereka?

Saya mengkhawatirkan ada yang salah dengan pendidikan komunikasi kita. Mungkin para ahli komunikasi massa lebih faham, bagaimana cara dan gaya yang layak ditunjukkan dalam situasi dan kondisi yang tepat. Namun secara substansi dan pilihan kata, seharusnya para tokoh mahasiswa itu tahu pilihan kata yang layak dipergunakan dalam acara dan tempat yang resmi tersebut. Mengapa dia tidak memilih kata-kata yang lebih elegan, misalnya: 'kami menengarai adanya pengalihan isu yang tidak dapat kami kontrol, sehingga rencana demo tanggal 20 kami alihkan menjadi tanggal 21'. Jelas dan lugas.

Hal lain yang mengkhawatirkan dari pernyataan mahasiswa tersebut, adalah tidak mampunya mahasiswa itu menyampaikan ide-idenya dengan dasar pengetahuan yang menjadi basis pembelajaran mereka. Tidak tampak dari pernyataan itu sebuah warna, sikap dan ideologi yang jelas, setidaknya berdasar pengetahuan ilmiah yang diajarkan di kampus, maupun hasil berinteraksi dan berdiskusi antar aktifis. Bukankah para mahasiswa seharusnya terbiasa mempelajari berbagai buku dan referensi pergerakan? Seperti itukah pernyataan yang dikeluarkan ketika para aktifis jaman dahulu menyampaikan pendapat? Tidakkah mereka malu pada Soe Hok Gie, Hariman Siregar, Rizal Ramli, Jumhur Hidayat dan Budiman Sudjatmiko, untuk menyebut beberapa tokoh mahasiswa lintas jaman? Mengapa pernyataan itu seperti pernyataan para ABG yang terbiasa bergosip, menonton acara musik dan infotainment di televisi, tanpa mempedulikan kondisi sekeliling? Sekualitas itukah para pemimpin gerakan mahasiswa saat ini?

Saya masih menyimpan kekhawatiran lagi, yaitu bahwa pernyataan mahasiswa itu sebenarnya menunjukkan semakin dangkalnya daya pikir mahasiswa dan kaum pemikir kita, mungkin termasuk diri saya sendiri. Semakin sedikit yang mau mengkaji buku-buku serius dan mendalaminya dengan benar-benar, dan lebih banyak yang suka membaca status orang di media sosial, kemudian mengutipnya tanpa benar-benar tahu makna dan konteks yang sebenarnya. Hal ini yang sudah ditengarai oleh Bre Redana, sebagaimana saya sampaikan beberapa waktu yang lalu.

[caption id="attachment_384533" align="alignnone" width="628" caption="Tentang kedalaman pikir"][/caption]

Ya, saya mengkhawatirkan pendangkalan pemikiran itu. Yang ada hanya kepedulian-kepedulian semu, tanpa adanya pemikiran dan ideologi yang benar-benar dipahami. Lebih mengkhawatirkan lagi, hal itu bukan tidak mungkin mencerminkan situasi berbangsa dan bernegara saat ini, ketika politik tidak lagi dimaknai dengan sebuah ideologi pemikiran yang jelas, namun hanya sekedar ideologi kursi dan kekuasaan. Dan fenomena ini sudah terang benderang dan kasat mata.

Namun semoga kekhawatiran-kekhawatiran saya hanya kekhawatiran yang berlebihan, karena mungkin saja para mahasiswa itu sedang sangat senang diundang oleh Presiden ke Istana, karena dengan demikian menunjukkan eksistensi mereka. Atau mungkin mereka tengah gugup mendapatkan perhatian begitu banyak wartawan, apalagi harus berbicara tanpa teks dan persiapan sebelumnya, sehingga seolah hilang semua kata-kata yang telah dipersiapkan sebelumnya. Ya, semoga saja semua itu hanya kesilapan kata belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun