(Pak) Amien Rais adalah tokoh politik yang (pernah) memesona saya. Saya mengikutinya secara intens terutama setelah tulisannya yang menyoal 'perampokan besar-besaran' yang dilakukan oleh Freeport dalam rubrik Resonansi di Republika pada paruh kedua 90-an.
Sebelumnya, kecerdikan Beliau sudah teruji dalam Muktamar Muhammadiyah tahun 1994 di Banda Aceh yang membuat beliau terpilih sebagai Ketua Umum walaupun beredar kabar beliau kurang disukai pemerintah saat itu.
Selanjutnya pamor beliau tetap cemerlang sekaligus kontroversial dengan lontaran gagasan mengenai suksesi kepemimpinan yang dinilai sungguh berani pada saat itu, ketika hegemoni Soeharto masih cukup kuat mencengkeram.
Apa yang disampaikan beliau tentang perlunya suksesi yang direncanakan sedikit banyak dipahami kebenarannya oleh banyak orang, ketika tidak sampai akhir dekade 90an, kekuasaan Soeharto akhirnya tumbang dengan pengorbanan yang tidak kecil nilainya. Pembatasan kepemimpinan menjadi salah satu bagian penting yang masuk dalam Amandemen UUD 45 yang entah sampai berapa kali itu, ketika beliau menjabat sebagai Ketua MPR.
Pamor sebagai tokoh reformasi (dalam istilah beliau sendiri: bermain high politics) selanjutnya menggiring beliau untuk bermain dalam percaturan politik secara langsung, atau mungkin meminjam analogi beliau dapatlah disebut dengan praktik 'low politics'. Dalam posisi inilah menurut saya beliau kehilangan banyak pesonanya sebagai seorang tokoh politik. Praktik-praktik berpolitik (Pak) Amien dalam posisi sebagai pemimpin partai menurut saya tidak mencerminkan apa yang disampaikannya dalam posisi sebagai pengamat politik dan akademisi yang mendorong praktik politik secara bersih, santun, egaliter dan demokratis.
Wacana demokratis yang digaungkan beliau, wacana suksesi yang beliau tujukan pada Pak Harto, sepertinya tidak bisa serta merta ditujukan bagi dirinya sendiri. Seperti ada ketidakrelaan partai yang didirikannya akan jatuh pada orang-orang yang tidak dikehendaki. Dapat dilihat misalnya bagaimana dahulu tiba-tiba muncul tokoh Sutrisno Bachir, dari bukan siapa-siapa menjadi pimpinan partai, dengan dukungan dan restu beliau, menyingkirkan tokoh-tokoh lama yang juga mencalonkan, kalau tidak salah ingat semacam Drajad Wibowo.
Kemudian ketika SB dinilai tidak lagi sejalan, atau dinilai ingin menonjolkan diri dalam berbagai poster dan baliho untuk menjadi presiden, sesuatu yang mungkin masih diminati (Pak) Amien juga, (ingat baliho di jalan-jalan ketika itu: Hidup adalah Perjuangan), akhirnya dia tersingkir begitu saja, setelah begitu banyak modal yang dikucurkan untuk membesarkan partai (walau mungkin juga membesarkan dirinya).
Sekarang, Hatta Rajasa yang menurut saya seorang yang cukup bersih dan memiliki kapasitas yang cukup untuk memimpin partai, lepas dari isu mafia migas yang menerpanya, akhirnya juga harus tersingkir karena keberpihakan Sang Pemilik Partai yang sesungguhnya kepada tokoh lain yang kebetulan memiliki kedekatan secara pribadi (besan to besan).
Hemat saya, seharusnya (Pak) Amien Rais tidak mendudukkan diri dalam posisi low politics semacam itu. Partai yang didirikan sudah menjadi milik publik, seharusnya tidak ada saham atau previlege yang dirasakannya menjadi miliknya.
Biarkan anak-anak muda penerus generasi itu tumbuh secara alami, bertempur, bergulat untuk menemukan jati dirinya. Janganlah para penerus partai itu terus menerus berada dalam bayang-bayang, seperti anak kecil yang dilepas kepala, tapi dicekal kakinya. Kalau begitu, kapan partai ini akan menjadi dewasa?
Saya malah curiga, jangan-jangan ketidaktegasan keberpihakan partai yang seringkali ditunjukkan, karena memang pengurus partai gamang untuk bersikap secara tegas dan mengambil sikap berbeda dengan Sang Pemilik Partai yang sesungguhnya. Sungguh disayangkan kalau memang demikian. (Pak) Amien, please move on.