Suasana batin bangsa ini pasca Pilpres memang sepertinya tidak akan pernah sama lagi. Ada luka batin psikologis yang sulit terhapus, karena perang kata-kata yang marak terutama melalui media sosial. Mungkin ini bukti dari adagium bahwa kata-kata bisa lebih tajam daripada pedang. Apa yang pernah dikatakan seseorang dalam Pilpres lalu mungkin masih akan terrekam dalam ingatan, yang menimbulkan sikap yang berbeda terhadap pihak lain yang berbeda pandangan. Dalam situasi yang penuh suasana permusuhan tersebut, adanya penilaian yang jernih terhadap pihak lain sulit untuk didapatkan. Penilaian satu pihak untuk meluruskan padangan misalnya, bisa dipandang sebagai celaan, hinaan, atau bahkan upaya menjatuhkan. Di sisi lain, pada orang-orang yang segolongan, upaya tersebut dapat dilihat sebagai amunisi untuk memperkuat posisi. Pendeknya, sulit didapatkan diskusi yang sehat dan mencerahkan apabila menyangkut Pilpres yang lalu.
Posisi yang seolah rigid dan getas tersebut sebenarnya sudah terlenturkan dengan fenomena-fenomena yang terjadi belakangan. Meskipun pada awal-awal dilantik, polarisasi di DPR terlihat begitu kentara, hingga publik menghitung berapa skor kemenangan yang didapat satu pihak dibanding pihak lain, yang disusul dengan pembentukan DPR tandingan yang saat ini tidak tahu bagaimana kabarnya tersebut, belakangan posisi tersebut seolah tersamarkan karena beberapa langkah mengejutkan yang diambil KMP. Dukungan penuh pada calon Kapolri yang diajukan presiden misalnya, kemudian pembahasan yang relatif lancar pada penetapan APBN-P 2015, menunjukkan bahwa polarisasi tersebut sebenarnya sudah mengendur. Dukungan secara langsung dari tokoh-tokoh KMP terhadap pemerintahan Jokowi hingga dari tokoh sentralnya Prabowo juga menunjukkan bahwa polarisasi tersebut sebenarnya tidak terlalu relevan lagi untuk dibicarakan. Ada banyak analisis mengenai hal ini, yang sesungguhnya hanya akan jatuh berupa interpretasi, kecuali ada sumber-sumber sahih yang didapat dari para politisi yang bermain.
Sayangnya, kelenturan tersebut seolah hilang ketika bicara mengenai Jokowi sebagai presiden. Seolah ada yang tidak boleh disentuh dari presiden kita, karena itu akan mengungkap luka. Semua pihak seolah akan kembali teringat pada pertempuran Pilpres yang lalu, lengkap dengan segala luka yang dialami. Padahal sebagai Presiden, Jokowi memerintah untuk semua golongan, dengan kebijakan dan program yang berdampak pada semua pihak. sehingga diapun berhak untuk dikritisi segala kebijakan dan program yang diambil. Kontrol pada pemerintah adalah wajar, dan dapat dilakukan oleh siapapun, baik secara formal kelembagaan melalui DPR, melalui media massa, maupun melalui masyarakat yang semakin luas memiliki wadah untuk menyalurkan aspirasi. Jadi, saya kira kontrol pada pemerintah harus disikapi sebagai upaya mendudukkan porsi, bukan semata-mata untuk mengurangi kewibawaan maupun lebih jauh lagi menjatuhkan pemerintah. Kalau itu yang dipikirkan, saya kira sikap su'usdzon justru dimiliki oleh para pendukung presiden, bukan sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H