Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Mengapa Panik Ketika Anak Sakit?

15 April 2015   11:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:04 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin siang ada SMS masuk yang menyampaikan kalau anak saya yang duduk di kelas 3 SD itu sakit campak atau grabagen istilah guru UKSnya, lalu minta segera dijemput supaya bisa beristirahat di rumah. Memang, tadi pagi sudah muncul bintik-biktik merah hampir di sekujur tubuh, dan sudah diberikan salep dan obat anti alergi. Biasanya dia memang alergi telur yang menimbulkan gatal-gatal di lipatan paha. Curiganya, dia makan makanan yang ada kandungan telur, sehingga gatal-gatalnya makin parah. Sempat menyesal juga mendapati bahwa dia sakit campak, karena dia sempat mengeluh wajahnya agak panas ketika kuantar ke sekolah. Paling kena sinar matahari saja, pikirku.

Menerima SMS itu, saya yang sedang menyelesaikan proposal yang memasuki tenggat akhir waktu (kebiasaan last minute mentalited, kata seorang teman), apalagi diselingi dengan nulis di Kompasiana (hehe nyalahin orang lain lagi), buru-buru menutup laptop dan menjemput ke sekolah, setelah sebelumnya berkoordinasi dengan istri yang sedang rapat di kantornya. Rencananya, dia akan langsung dibawa ke dokter di RS dekat kantor, lalu pulang ke rumah.

Waktu menjemput, entah kenapa saya jadi panik di jalan, mungkin karena ingat dulu waktu masih kecil adik saya pernah step karena campak hingga masuk rumah sakit beberapa hari. Konyolnya lagi, saya tidak kepikiran untuk mengambil mobil di kantor mamanya, siapa tahu kondisinya parah dan berbahaya untuk naik motor. Mau balik sudah tanggung separuh jalan, nanti kalau kelamaan jangan-jangan malah bisa tambah parah.

Sesampai di sekolah, segera buru-buru menuju UKS dan menanyakan kepada petugas yang menjawab dengan santai sambil tersenyum: "Sudah kembali ke kelas Pak, tadi gak betah menunggu di sini. Cuma besok sepertinya harus beristirahat di rumah, karena menular." Saya segera ke ruang kelasnya, dan menemukan dia sedang mengikuti pelajaran seperti biasa, dan dengan santai juga berlenggang ke luar kelas setelah minta ijin ke gurunya. Sempat mengobrol sebentar dengan gurunya, yang mengatakan kalau anak saya biasa saja dari pagi, mengikuti berbagai aktifitas, hanya saja bintik-bintiknya semakin banyak. Staminanya kuat, katanya. Saya mengangguk-angguk lega. Bayangan tentang anak yang sedang terbaring lemas di ruang UKS hilang seketika, lalu kugandeng dia untuk pulang.

Entah mengapa, saya selalu panik ketika anak sakit. Mungkin karena kejadian sakit yang cukup parah relatif jarang bagi anak-anak saya. Baru sekali yang sulung waktu umur 2 tahunan gara-gara infeksi debu waktu merenovasi rumah, dan si bungsu yang sakit diare waktu umur 6 bulanan. Di luar itu, mereka sepertinya sehat-sehat saja, paling batuk dan pilek biasa. Maka, kejadian sakit khusus seperti campak seperti ini memang menimbulkan kengerian tersendiri bagi saya. Mungkin juga karena saya tidak sepenuhnya paham dunia rumah sakit, juga penyakit-penyakit yang diderita, dan lebih banyak mengandalkan istri yang bekerja di bidang kesehatan. Pemahaman umum tentang tingkat fatalitas dan kegawatan penyakit tentu bisa dibaca dari literatur, tetapi tetap tidak sepenuhnya mampu menghilangkan rasa takut dan panik yang muncul.

Mungkin karena berbeda dengan dunia teknik yang saya geluti, dimana segala sesuatu dapat terukur dengan variabel yang relatif jelas dan pasti. Dunia kesehatan yang berkaitan dengan hidup manusia sebetulnya memiliki banyak variabel yang dapat berperilaku berbeda ketika variabelnya berubah, seperti perilaku manusia, keturunan, riwayat sakit di masa lalu, juga lingkungan serta penanganan yang dilakukan. Beberapa aspek tersebut toh tidak mampu menjamin hasil yang sama ketika diterapkan penanganan yang sama, sehingga faktor ketidakpastian selalu ada, di luar hal yang diperkirakan. Di luar itu, faktor emosional dengan anak mungkin juga berperan, sehingga pertimbangan-pertimbangan logis sering susah dikedepankan.

Itulah mungkin beberapa rasionalisasi mengapa selalu panik ketika anak kita sakit. Harapannya, tentu tetap dapat bersikap tenang sehingga dapat bertindak tepat dalam kondisi apapun . Namun semua mungkin masih perlu belajar, dari waktu dan juga pengalaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun