Di luar hal-hal serius seperti masalah penganggaran, perebutan kekuasaan, politik dinasti dan desentralisasi korupsi, ternyata ada hal lain yang menarik untuk dicermati terkait pemekaran wilayah. Ini adalah hasil sampingan dari mengolah data BPS untuk mendukung pekerjaan kantor yang sedang saya selesaikan. Hasil sampingan ini juga merupakan hiburan di tengah kerumitan mengolah kembali data dari soft file BPS hasil download yang alamak susahnya diolah dengan sistem database yang standar (soal ini akan saya tulis dalam tulisan lain, sepertinya sangat penting, karena ironis, sebuah institusi yang bertugas menyajikan data untuk pengambilan kebijakan ternyata menyediakannya dengan cara yang sangat tidak user friendly, sehingga kami para pengguna harus bersusah payah mengolahnya kembali agar mudah diolah dengan sistem database yang benar). Apa yang menarik dari mencermati fenomena pemekaran wilayah itu adalah munculnya nama-nama wilayah yang sangat panjang, seringkali hingga 4 suku kata, yang disebabkan oleh penambahan nama di belakang kabupaten induknya. Fenomena ini uniknya banyak dijumpai di wilayah luar Jawa.
Di Sumatera misalnya, kita dapat menemukan kabupaten baru dengan nama: Penukal Abab Lematang Ilir, Ogan Komering Ulu Selatan dan Ogan Komering Ulu Timur, ketiganya di Provinsi Sumatera Selatan. Di Sulawesi Utara juga dijumpai kabupaten dengan nama Kepulauan Siau Tagulandang Biaro atau disingkat Sitaro yang ada di Provinsi Sulawesi Utara. Di luar itu, banyak lagi daerah yang menggunakan tiga suku kata, seringkali bahkan sudah ada sejak sebelum trend pemekaran terjadi setelah era otonomi daerah. Kita kenal misalnya ada wilayah dengan nama-nama berikut, yang tersebar dari daerah ujung pulau Sumatera, hingga wilayah Kepulauan Maluku: Aceh Barat Daya, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Padang Lawas Utara, Lima Puluh Koto, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Musi Rawas Utara, Tulang Bawang Barat, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Penajam Paser Utara, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Timur, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Sumba Barat Daya, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, dan Maluku Barat Daya. Apa yang terbersit dalam benak membaca nama-nama wilayah tersebut.
Bagi saya, sangat tidak dapat ditepis adanya kesan pemecahan wilayah yang berkaitan erat dengan bagi-bagi kue kekuasaan dan juga anggaran dari pusat. Entah mengapa tidak terbersit dalam benak kesan bahwa pemekaran wilayah adalah upaya untuk menyejahterakan penduduk di wilayah tersebut. Berbagai kasus korupsi yang menjerat lebih dari separuh pejabat di daerah adalah salah satu hal yang memicu sikap skeptis tersebut. Aroma perebutan kuasa, politik dinasti dengan menurunkan kekuasaan pada keluarga dan keturunan seperti terjadi di berbagai wilayah juga menjadi pemicu sikap ketidakpercayaan pada berbagai inisiasi pemekaran wilayah yang selama ini terjadi. Oleh karena itu, adanya moratorium pemekaran wilayah yang dilakukan pada akhir pemerintahan SBY yang lalu menurut saya adalah hal yang tepat dan seyogyanya dilakukan.
Memang, ini hanya analisis awal yang bersumber dari identifikasi yang mungkin perlu diverifikasi lebih lanjut dengan berbagai data empiris yang ada. Harapannya memang, pemekaran wilayah yang selama ini terjadi dapat mendorong adanya kesejahteraan dan peningkatan standar hidup masyarakat di wilayah tersebut. Semoga saja ke depan hal itu bisa terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H