Saya sebenarnya tidak mengikuti secara intensif kehebohan mengenai beras plastik ini sejak awal. Bagi saya ini serupa dengan praktik para pedagang yang mencari untung, seperti mengoplos beras dengan campuran berkualitas rendah, menggunakan pemutih dan sebagainya. Namun kemudian isu ini menjadi menarik karena ternyata banyak yang menengarai bahwa harga beras plastik justru lebih tinggi dibandingkan produksi beras konvensional, sehingga penjualannya menjadi tidak ekonomis. Oleh karena itu, motif ekonomi dari penjualan beras plastik ini menjadi terpatahkan. Mungkin hal inilah yang kemudian menjadikan Pemerintah menjadi terpicu syaraf keamanannya, sehingga Mendagri langsung mengatakan dengan garang: Pemasok Beras Plastik Termasuk Pelaku Makar.
Menyadari sebagai hal yang sensitif, pemerintah sepertinya tidak mau isu ini berkembang luas, yang kemudian menimbulkan keresahan masyarakat. Maka, kemudian terjadi semacam counter balik isu yang menyatakan bahwa beras plastik tidak ditemukan dalam beberapa pengujian yang dilakukan oleh Polri, Kemendag, Kementan maupun BPOM. Hal ini kemudian menjadi dasar bagi pemerintah untuk menyatakan bahwa beras plastik tidak ada, bahkan Presiden memerintahkan agar isu ini tidak dibesar-besarkan.
Di sisi lain, Sucofindo sebagai lembaga pengujian independen menyatakan bahwa terdapat kandungan plastik dalam sampel beras yang diujinya. Hasil yang berbeda ini cukup membingungkan dan memicu beberapa pertanyaan, seperti apakah sampel yang diuji sama, dan bagaimana metode yang digunakan? Kalau berbeda, metode apa yang lebih valid untuk digunakan?
Saya tidak ingin masuk dalam aspek yang terlalu teknis mengenai metode pengujian yang memang tidak saya kuasai. Namun saya ingin mencermati bagaimana penanganan masalah ini sepertinya tidak fokus dan bahkan terdisorientasi. Artinya terdapat indikasi bahwa penanganan kasus ini memiliki aspek non teknis yang sangat kental yang akhirnya mengaburkan fokus penyelidikan. Logika linier dalam penanganan kasus misalnya dapat dilihat dalam kasus-kasus penanganan kriminal murni, seperti kematian Tata Chubby yang dengan cepat mendorong polisi untuk mengendus pelaku hingga ke luar kota. Kasus ini cepat terungkap karena polisi terfokus pada fakta, kemudian menelusuri dan melakukan pengungkapan.
Dalam kasus beras plastik ini, sepertinya terdapat banyak kepentingan dan juga intervensi yang menyebabkan kekaburan fakta. Seolah-olah terdapat sebuah hasil pesanan yang harus diungkapkan dengan menafikan hasil lain yang mungkin tak kurang akuratnya. Ini dapat diamati dengan misalnya desakan Staf Komunikasi Presiden Teten Masduki agar Sucofindo mengakui kesalahan yang dilakukannya. Mungkin bagi Teten, kebenaran dipengaruhi oleh siapa lembaga yang mengujinya, tanpa terlebih dahulu melakukan pendalaman mengenai perbedaan hasil yang terjadi. Di sisi lain, juga ada kecenderungan untuk mengkriminalisasikan pelapor beras plastik, Dewi Septiani karena telah menyebarkan berita bohong. Bahkan isu yang berkembang semakin meluas dengan masuknya nuansa politik, seperti persaingan KMP dan KIH, dan tuduhan keterlibatan partai politik dalam pelaporan beras plastik ini.
Kelinearan kasus ini seharusnya diungkap dengan mengidentifikasi secara bersama-sama sampel beras plastik itu, kemudian membandingkan hasil pengujian sampel itu di laboratorium dengan metoda yang sahih sehingga dapat diambil kesimpulan mengenai ada tidaknya kandungan plastik dalam sampel itu. Baru kemudian dapat diputuskan ada tidaknya beras plastik di masyarakat. Kemudian baru dapat diungkap motif penyebaran informasi itu, mungkin dapat dimulai dari pelapor, penjual dan kemudian pemasok. Semua dapat dilakukan dengan transparan dan jernih. Ketika ketidakjelasan mengenai keberadaan beras plastik ini yang mencuat, maka yang terjadi adalah kegamangan untuk melakukan tindakan. Bagaimana bisa melakukan penanganan ketika ada tidaknyapun masih menjadi pertanyaan? Padahal kasus ini terlanjur menyebar, bukan hanya di Bekasi seperti ditengarai oleh banyak orang, tapi juga di Gunungkidul, sebagaimana dimuat dalam berita berikut: Dibakar Jadi Menggumpal, Beras di Gunung Kidul Dicurigai Bercampur Plastik.
Demikianlah, ketika logika yang digunakan sudah tercampuri berbagai kepentingan, maka sebuah penyelidikan mingkin tidak akan tuntas dan memberikan hasil yang jernih seperti diharapkan. Sungguh disayangkan, karena semua korban dari ketidakjelasan isu ini adalah juga masyarakat, yang setiap hari mengkonsumsi beras sebagai makanan utamanya. Tentu kita tidak ingin masyarakat terus menerus menjadi korban dari berbagai kepentingan yang bahkan bukan menjadi urusannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H