Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

'Wina Lia Akhirnya Menemukan Suami', Trus Kenapa?

15 Mei 2015   08:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:02 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah jamak bagi setiap orang berkeinginan untuk dikenal publik, walau dalam bentuk yang berbeda-beda. Ada yang ingin dikenal namanya saja, namun menyembunyikan identitas lainnya, bahkan sosok dia yang sebenarnya orang-orang tidak mengetahuinya. Orang-orang ini terfokus pada kualitas karya yang dihasilkan, dan akan merasa puas karyanya diterima oleh masyarakat, tanpa merasa perlu ikut menonjolkan diri. Mereka cenderung misterius, walaupun karya yang dihasilkannya cukup berkualitas dan menimbulkan rasa penasaran siapa yang berada di baliknya. Dahulu pada era 80an ada karya sastra populer yang dihasilkan oleh seorang penulis bernama Titi Nginung. Orang-orang tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya, walaupun banyak pihak mencurigai orang ini adalah Arswendo Atmowiloto. Kemudian juga ada pencipta lagu Pak Tua yang dinyanyikan oleh Elpamas pada tahun awal 90an yang diciptakan oleh pencipta lagu bernama Pithat Haeng, yang banyak orang mengasosiasikan nama itu dengan Iwan Fals. Orang Yogya sebenarnya dengan mudah mengidentifikasi nama itu berdasarkan bahasa prokem walikan yang populer pada era tersebut.

Ada juga orang-orang yang merasa perlu menunjukkan dirinya, satu paket dengan karya yang dihasilkannya. Sikap ini sepertinya merupakan arus utama yang diambil sebagian besar dari kita. Hal ini tak terlepas dari kenyataan, bahwa kita adalah orang-orang yang bermasyarakat, yang akan terus berinteraksi, baik dalam bentuk karya maupun aktifitas sosial lainnya. Suka atau tidak, sosok kita juga akan ikut tampil bersama apa yang kita lakukan. Penampilan kita akan semakin dikenal publik dengan semakin banyaknya kiprah kita di masyarakat, sehingga tingkat popularitas tersebut berbanding lurus dengan kontribusi kita pada masyarakat. Kepopuleran dan hasil karya tersebut sesungguhnya merupakan modal sosial yang sangat berharga pada era banyak jabatan publik ditentukan secara partisipatif, misalnya dalam bentuk Pemilu dan Pilkada. Idealnya, seseorang populer dan berkontribusi terlebih dahulu, baru kemudian merasa layak dan mencalonkan diri menjadi pejabat publik. Bukan sebaliknya sebagaimana yang banyak terjadi, baru populer ketika kampanye Pemilu dimulai dengan banyaknya poster-poster dirinya di jalanan, yang malahan justru menimbulkan tanya, siapa dan apa kiprah orang ini sehingga berani mencalonkan diri.

Berkebalikan dengan yang pertama, dan berbeda 90 derajat dari yang kedua, ada juga orang-orang yang ingin populer, dikenal masyarakat, namun sebenarnya tidak banyak memberikan kontribusi positif pada masyarakat. Kecenderungan ini terlihat semakin marak belakangan, apalagi dengan berkembangnya teknologi informasi yang menyebabkan seseorang dengan mudah mengeksistensikan dirinya melalui berbagai media berbasis internet. Orang-orang berlomba untuk membikin status yang sebenarnya sifatnya sangat pribadi dan tidak penting bagi khalayak. Mereka juga sering mengupdate informasi, yang seringkali tidak terverifikasi, hanya agar tidak ketinggalan dengan warga media sosial lainnya. Aku update status, aku ada, mungkin itu kredo yang mereka bawa.

Semua pilihan itu sebenarnya sah-sah saja, karena terkait dengan karakteristik pribadi yang sifatnya personal. Walaupun demikian, pilihan kedua sebenarnya paling ideal, karena naiknya popularitas diimbangi dengan kontribusi yang diberikan pada masyarakat. Sayangnya, kondisi yang ada menunjukkan, bahwa justru sikap-sikap ketigalah yang terindikasi semakin marak berkembang di masyarakat. Orang seolah berlomba untuk menampakkan diri, memperlihatkan dirinya di publik, tanpa memberikan (sedikitpun) kontribusi positif pada masyarakat. Kontribusi yang dimaksud bukan hanya berbentuk materi, namun juga nilai-nilai yang dapat ditiru dan direplikasi oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, kita tidak pernah menyoal kepopuleran orang-orang seperti Andy F Noya dengan acara Kick Andy-nya, atau Mario Teguh dengan Golden Ways-nya , karena acara-acara itu memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Di lain pihak, sebagian masyarakat berteriak dan melakukan protes kepada acara-acara yang memakan durasi lama, tanpa memberikan banyak informasi yang bermanfaat, misalnya acara Pernikahan Anang - Ashanti, proses kelahiran anaknya, juga pernikahan Raffi - Nagita yang disiarkan secara besar-besaran. Acara-acara tersebut sebenarnya lebih layak disiarkan dalam lingkup pribadi mereka yang terlibat.

Lebih miris lagi, hal itu saat ini sudah menyentuh pada orang-orang biasa, bukan lagi muda dan alay yang masih memerlukan perhatian orang lain, namun orang dewasa yang bahkan sudah (pernah) berkeluarga. Tentu semua netizen yang rajin membaca sudah tahu siapa yang dimaksud. Ibu ini, entah dengan diniatkan dari awal atau tidak, akhirnya menjadi selebritas baru yang sangat dinikmatinya, dengan berbagai pemberitaan yang bersifat pribadi yang sebetulnya tidak pantas diumbar kepada publik. Setelah beberapa waktu yang lalu menimbulkan kehebohan dengan tagline 'Jual Rumah, Nikahi Orangnya', sekarang ketika calon suami sudah didapatkan, publik disuguhi dengan proses bagaimana pemilihan itu terjadi, lengkap dengan profil dan sosok orang yang merasa beruntung itu. Anehnya lagi, media sekelas Kompas juga tertarik untuk memberitakan secara khusus, hingga menjadi berita pilihan dan terpopuler hingga beberapa saat yang lalu.

[caption id="attachment_383534" align="aligncenter" width="317" caption="Pilihan dan terpopuler"][/caption]

Dan saya juga jadi ikut-ikutan kepo mengomentari: lah ternyata orangnya belum pernah ketemu, dia baru jatuh cinta lewat pesan singkat dan telepon yang dilakukan setiap hari. Bagaimana dia bisa menguji kesungguhan dan kesetiaan dia yang relatif belum dikenal tersebut?

Demikianlah saudara, akhirnya sayapun menjadi ikut-ikutan alay, mengomentari hal-hal yang tidak perlu. Salahnya Kompas juga sih...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun