Mohon tunggu...
Croissant Kezia
Croissant Kezia Mohon Tunggu... -

Satu-satunya ..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aldi dan Adik Maura

29 Mei 2011   22:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:04 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hari Sabtu lagi. Aldi benci hari Sabtu. Di malam minggu ini, dia pasti sendirian di kost karena semua teman kostnya sudah menghilang sejak jam 6 sore. Aldi hafal apa saja yang dilakukan mereka. Ngedate dengan pacar, jalan-jalan, setelah itu dugem sampai subuh nanti. Aldi sebenarnya sudah berulang kali diajak pergi bareng, tapi dia selalu menolaknya. Dia malas jadi obat nyamuk diantara teman-temannya yang udah pada punya pacar.

Aldi menguap dan melihat jam. Sudah jam 20.45. Mendadak perutnya berbunyi nyaring. Aldi baru sadar kalau dia belum makan apa-apa sejak dia pulang dari Solo jam 5 tadi. Gimana mau makan kalau dia langsung tidur setelah sampai di kost?

Karena dia nggak punya persediaan makanan apa pun, dia memutuskan untuk nungguin penjual sate atau nasi goreng keliling yang biasanya lewat di depan kost. Untuk membunuh waktu, Aldi mengambil laptop dan modemnya. Daripada bengong, mending internetan. Dalam sekejab, Aldi sudah tenggelam dalam dunia maya.

“Om Aldi, om Aldi lagi ngapain??”

Aldi nyaris melompat mendengar suara anak kecil tepat di telinganya. Mending kalau manggilnya pelan, lah ini manggilnya setengah teriak.

“Adik Maura, kalau manggil pelan-pelan dong. Jangan ngagetin orang”, kata Aldi sambil mengusap-usap telinganya yang berdenging.

“Hehe. Maura minta maaf deh. Om Aldi lagi ngapain?”

“Iya gapapa koq. Lagi mainan komputer”, jawab Aldi sekenanya.

Maura adalah anak umur 5 tahun yang tinggal di depan kost Aldi. Anak-anak kost biasa memanggilnya dengan sebutan “Adik Maura”. Sebaliknya, Maura memanggil semua orang di kost dengan sebutan “Om”. Awalnya Aldi risih dipanggil “Om”. Kan dia baru 22 tahun,masa dipanggil “Om” sih? Tapi lama-lama dia terbiasa juga. Maura cukup sering main ke kost Aldi. Karena itu, anak-anak kost cukup akrab dengan Adik Maura ini.

“Om Aldi, Maura juga mau maen komputer. Boleh ya?”

“Wah jangan deh. Ini udah malem lho. Adik Maura pulang aja ya”, gumam Aldi sambil keluar dari web browsernya.

“Ngomong-ngomong, Adik Maura koq bisa keluar jam segini?” tanya Aldi keheranan.

“Ya bisa dong. Kan cuma bentar”

“Aduh, ntar kalau Adik Maura dicariin Mama gimana? Sini, Om Aldi anterin pulang”

Aldi berdiri dan mau menutup laptopnya. Tapi tangan kecil Maura menahannya. Sepertinya Maura tertarik padawallpaper laptop Aldi. Walpaper laptop Aldi adalah foto keluarga besarnya di Medan sana.

“Om, ini siapa?” tanya Maura sambil menunjuk seorang wanita yang duduk di tengah.

“Oh itu.. Tante Lily”

“Itu siapanya Om? Om Aldi sering ketemu sama dia ya?”

“Ngg... Dia kakaknya Om Aldi. Jarang ketemu koq.”

“Om Aldi benci sama dia yaa?”

Aldi terdiam. Pertanyaan Maura yang barusan susah untuk dijawabnya. Aldi nggak tau apakah dia membenci Lily atau tidak. Tanpa sadar, Aldi meraba bekas luka yang cukup dalam di keningnya. Bekas luka itu memanjang dari pojok kiri atas keningg dan hampir mengenai mata. Itu adalah “hadiah” dari Lily.

Saat Aldi masih SD, Lily mengajak Aldi pergi dengan mengendarai sepeda motor. Sesampainya di suatu jalan yang lurus, Lily tancap gas dan ngebut sekencang-kencangnya. Awalnya mereka hanya tertawa. Lily semakin senang dan menambah kecepatan. Saat mendekati tanjakan, Lily semakin menggila. Tapi Lily tidak menyadari kalau ada jalanan yang agak bergelombang. Sepeda motor melewati jalanan itu dan “terbang”. Lily hanya lecet-lecet di kedua kaki dan tangannya, tapi Aldi terluka di bagian kepala dan patah tulang kaki kiri. Karena luka di bagian kepala, daya penglihatan Aldi terganggu sehingga dia harus menggunakan kacamata. Bukan cuma itu saja, bekas luka yang ditinggalkan membuat wajah Aldi jadi terkesan seram. Sejak kejadian itu, Aldi nggak pernah ngomong lagi dengan Lily. Padahal dulunya dia dan Lily sangat dekat. Aldi memang marah dengan Lily karena kecelakaan itu, tapi Lily adalah satu-satunya saudara kandungnya.

“Om Aldi koq diem sih? Lagi berantem sama Tante Lily ya? ” tanya Maura sambil menarik-narik ujung kaos Aldi.

“Hmmm? Iya lagi berantem... Udah udah. Ayo sini Om anterin pulang.”

“Maura bisa pulang sendiri, kan rumahnya deket”

Maura berlari kecil mendekati pintu pagar. Aldi berdiri dan membantu membuka pintu pagar besar yang tertutup itu. Terdengar suara berderit yang nggak enak banget di telinga. Maura sampai menutup telinga dengan kedua tangannya

“Maaf ya. Mungkin engselnya udah karatan nih. Pintunya jadi rada seret juga”, kata Aldi.

“Iya. Maura pulang dulu ya Om. Oh yaa, Om Aldi jangan berantem sama Tante Lily terus. Ntar kalo nggak bisa ketemu lagi, bakal nyesel loh.... Kalo benci sama seseorang, dia mungkin nggak ngerasa kalo kita benci sama dia, tapi kitanya yang bakal ngerasa nggak enak karena rasa benci itu. Terus, kalo dia udah jahat sama kita, mendingan dimaafin aja Om. Kata bu guru, Tuhan udah maafin dan nggak benci sama kita, jadi kita juga harus bisa maafin dan nggak benci sama orang. Daah Om Aldiii!”

Maura berlari pulang dan memasuki rumahnya yang besar. Aldi menutup pagar kembali. "Ceramah" Maura barusan ada benarnya. Selama ini, Aldi-lah yang selalu merasa marah dan uring-uringan sendiri setiap ingat sama Lily. Aldi meraba bekas lukanya lagi. Kecelakaan itu mungkin memang sebagian besar adalah kesalahan Lily, tapi Aldi juga bersalah karena tidak menghentikan Lily ngebut. Yaah, mungkin ini saatnya untuk belajar memaafkan seperti kata-kata Maura tadi. Aldi jadi merasa malu sendiri kalau ingat tadi dia dinasehati oleh anak sekecil Maura.

Aldi mengambil ponselnya yang menekan beberapa digit nomor. Setelah beberapa saat, terdengar suara seorang wanita di seberang sana.

“Halo? Kak Lily? Kak, aku mau pulang minggu depan. Tolong jemput di bandara ya... Jamnya? Ntar aku kabari lagi...Iya. Thanks Kak.”

Aldi menutup sambungan telepon. Entah kenapa, perasaannya jadi lebih enak. Mungkin karena dia sudah memutuskan untuk mencoba membuang rasa benci pada kakaknya itu.

***

Terdengar suara orang yang lagi ngobrol di depan kamar Aldi. Aldi menguap dan melihat jam. Masih jam 7 pagi. Siapa sih yang ribut di Minggu pagi gini? Dengan setengah tidur, Aldi keluar dari kamarnya. Dilihatnya Johan, Alex, dan teman kostnya yang lain sedang bersiap-siap untuk pergi.

“Lho? Tumben kalian jam segini udah bangun?” tanya Aldi.

“Wah akhirnya kamu bangun juga. Lima menit lagi pintu kamarmu bakal didobrak tuh kalau kamu nggak bangun juga”

“Hah? Emang pada mau ke mana sih? Kalian nggak ngantuk? Biasanya kan kalian pulang dugem jam 4”

“Mau layat di rumah duka. Sebenernya masih pada ngantuk sih, tapi kalau nggak sekarang nanti nggak bakalan sempet layat bareng lagi soalnya mau pada mudik. Kamu mau ikut nggak? Kalau ya, cepetan siap-siap”

“Layat? Siapa yang meninggal?”

“Adik Maura. Katanya kemarin jam 7 malam dia meninggal gara-gara tertabrak mobil di dekat rumah neneknya. Kasihan. Padahal dia kan masih kecil gitu...”

Aldi mengerjapkan matanya tak percaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun