Mohon tunggu...
Croissant Kezia
Croissant Kezia Mohon Tunggu... -

Satu-satunya ..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Fadly dan Bendera

9 Agustus 2010   08:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:11 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Gimana ya pak? Ada sensasi yang beda tiap mengibarkan  bendera. Saya jadi ingat sama pahlawan-pahlawan kemerdekaan. Gimana dulu mereka berjuang mati-matian mengusir kompeni, Jepang, dan penjajah-penjajah lainnya. Lalu rasa bahagia saat melihat bendera Negara sendiri akhirnya bisa berkibar di angkasa. Rasanya... gimana ya? Susah dijelasinnya Pak. Ya pokoknya saya ingin mengibarkan bendera pusaka. Saya aneh ya?” Fadly tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri.

“Tidak aneh koq. Saya malah senang kamu punya perasaan seperti itu” ujar saya.

“Tiap ngeliat bendera itu naik ya Pak, rasanya di mata saya ini terbayang orang-orang yang berjasa buat negeri ini. Orang-orang yang udah membuat bendera ini berkibar dan menjaganya tetap berkibar. Lalu jadi inget sama bunda saya lagi Pak... Waktu masih hidup, Bunda itu selalu mengajarkan saya untuk mencintai negeri ini. Nggak peduli seburuk apapun negeri ini, saya dilahirkan di sini. Dalam diri saya ada negeri ini. Saya harus memberikan yang terbaik buat negeri ini, bukan menuntut apa yang terbaik yang bisa diberikan oleh negeri ini. Itu yang ada dalam pikiran saya tiap ngeliat bendera Pak”

“Bagus sekali kalau kamu berpikiran seperti itu, Dly. Kalau semua anak muda seperti kamu, negeri ini bisa maju pesat”, kata saya sambil menepuk-nepuk bahunya.

“Haha.. iya pak. Sayangnya nggak semua mikir kayak gitu. Saya latian lagi ya Pak”

“Tunggu dulu, rapikan seragammu. Ini kedua kalinya saya melihat seragammu keluar hari ini. This is the last time I remind you, keep yourself looks tidy!”

“Yes Sir!”

Fadly tertawa kecil dan merapikan bajunya. Dia kembali berlatih meninggalkan saya termenung di tempat. Saya jadi membandingkan Fadly dengan diri saya sendiri. Apa yang ada di benak saya dan Fadly saat melihat bendera dikibarkan waktu upacara sangat berbeda. Mata saya tertuju pada Sang Saka Merah Putih dan tangan saya membentuk tanda hormat padanya, tapi hati dan pikiran saya tidak. Harga-harga yang terbang tinggi, gaji guru yang pas-pasan, sampai aparat-aparat busuk di luar sanalah yang acap kali memenuhi pikiran saya, membuat saya jadi tergoda untuk hengkang dari negeri ini. Berbeda sekali dengan Fadly yang justru ingin melakukan yang terbaik untuk Indonesia. Fadly... Fadly... Saya selalu terkesan denganmu, nak.

“Hei konsentrasi! Jangan melamun kalau lagi latian!”

Saya mendongakkan kepala saat mendengar suara itu. Tapi kali ini bukan sesosok remaja cowok jangkung berkulit coklat lagi yang saya lihat. Yang ada di mata saya adalah seorang remaja cewek yang pipi putihnya tampak memerah dengan rambut diikat membentuk ekor kuda. Dia adalah Kartika, ketua paskib. Saya menarik napas panjang saat menyadari sebuah kenyataan.

Sampai kapan pun saya tidak akan pernah melihat Fadly lagi di sini. Peringatan saya kepada Fadly tentang kerapian baju ternyata benar-benar menjadi peringatan yang terakhir. Anak yang mengagumkan itu sudah berpulang kepada Yang Maha Kuasa enam hari yang lalu. Angkutan kota yang seharusnya mengantarkannya pulang ke rumah seusai latihan paskib tidak pernah sampai di tujuan. Angkot itu ditabrak truk pengangkut kayu dalam perjalanan, menewaskan Fadly dan tujuh orang lainnya.

Kepergian Fadly benar-benar membuat suatu kehilangan besar di sekolah ini. Rasanya semua terasa agak hambar tanpa kehadirannya. Beberapa anak masih sering menangis saat pelajaran karena teringat dengan mendiang. Sebenarnya, saya juga sering ingin menangis kalau mengajar kelas Fadly. Tapi saya selalu menahannya. Saya tidak mau terlihat lemah di mata murid-murid. Saya mau memberi contoh yang baik untuk mereka, agar mereka selalu tabah dan tegar. Murid-murid saya adalah negeri ini di masa depan. Saya ingin melakukan tugas saya sebagai guru dengan sebaik-baiknya untuk mereka tanpa memandang gaji yang hanya mampu bertahan sampai di tengah bulan.

Seperti apa yang dikatakan oleh pernah dikatakan oleh Fadly dulu, “Saya harus memberikan yang terbaik buat negeri ini, bukan menuntut apa yang terbaik yang bisa diberikan oleh negeri ini”.

In Memoriam

Fadly Firmansyah

27 Agustus 1994 – 03 Agustus 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun