Mohon tunggu...
Siti Aisyah Carana Putri
Siti Aisyah Carana Putri Mohon Tunggu... -

Bukan penulis profesional. The following writings are based on personal thoughts, experiences, in hope to share the same opinions to gain mutual relationships among the society. Do mindful that not every word in these writings is perfect, comments and suggestions are welcomed. Communication '15 - UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Balik 'Rok Mini'

21 September 2015   13:11 Diperbarui: 21 September 2015   13:26 1151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Balik ‘Rok Mini’

Perkembangan rok mini dimulai pada era 1960-an yang dipopulerkan oleh Mary Quaint, seorang ikon fashion Inggris di tahun 1958. Revolusi besar-besaran antara dunia politik dan ekonomi sedang melanda dunia dimana hak sipil mulai berlaku di Amerika, peningkatan kualitas perempuan yang mulai memasuki duina pendidikan lebih tinggi dan diperbolehkan bekerja, disertai munculnya budaya kontroversial abadi di dunia mode perempuan: rok mini. Perkembangan ini merupakan bentuk protes pemuda yang mengemukakan perubahan mental dalam kontribusi sosial sebagaimana mereka tidak lagi berpaku pada moralitas kaum burjois, mereka, kaum pemuda, mulai mengembangkan entitas tersendiri terhadap kehidupan sosial dan politik. Rok mini dianggap sebagai pergeseran persepsi perempuan sebagai ibu dan istri semata, perempuan mulai mencitrakan dirinya sebagai pribadi gadis periang, muda, lajang, dan bangga atas tubuhnya yang sensual. Pada era tersebut, tren fashion berubah drastis menjadi kian terbuka.

Namun dampak negatif dari rok mini masih terasa dan terus di perbincangkan hingga saat ini, perempuan kerap dijadikan simbol seksualitas dan menjadi korban kekerasan seksual. Maggie Humm, Deborah Cameron dan Don Kulick  memahami seksualitas sebagai ekspresi hasrat erotik yang dibentuk secara sosial, tubuh perempuan kerap dijadikan bahan eksploitasi bagi publik. Tubuh perempuan seringkali digunakan untuk menarik perhatian publik dalam dunia periklanan, dengan bermodalkan rok mini yang cukup panjang untuk menutupi yang vital dan cukup pendek untuk menarik perhatian, pakaian ketat yang menonjolkan figur lekuk tubuh, bertujuan untuk menarik perhatian dunia periklanan. Hal tersebut menunjukan betapa perempuan dipandang sebagai objek seksual yang dapat menimbulkan hasrat dan pelecehan seksual terhadap kaum perempuan. Namun, perlu dikaji lagi atas nama hak dan hukum terhadap perlindungan perempuan, muncul lah pertanyaan paling mendasar yang semakin menarik untuk membuka pola pikir ]: “salah siapa? Perempuan yang mengenakan ‘rok mini’, atau laki-laki yang tidak bisa menjaga nafsunya?”.

Perempuan kerap dijadikan budak oleh tubuhnya sendiri, selayaknya anugerah yang juga serta mengundang kutukan. Masyarakat sosial tak jarang memenjarakan perempuan dalam sangkar indahnya, memberi stratifikasi perempuan berdasarkan penampilannya. Perempuan yang mengenakan pakaian minim seringkali dianggap ‘nakal’ atau disangkutpautkan dengan pelacuran. Padahal, belum tentu perempuan yang mengenakan pakaian yang menutupi lekuk tubuhnya memiliki daya nalar yang lebih bijaksana daripada mereka yang mengenakan rok mini. Menurut ahli Psikoseksual serta pengajar di Universitas Indonesia, Zoya Amirin, memaparkan bahwa kejahatan seksual bukan berdasarkan pakaian yang dikenakan korban, namun lebih mengarah ke ketidakmampuan pelaku dalam mengontrol hasratnya (detik.com). Beliau bahkan menambahkan, perempuan yang mengenakan pakain tertutup sekalipun (hijab) tak lepas dari pelecehan seksual.

Tidak pernah kah terbersit dalam benak kita bahwa pelecehan seksual bukan lagi salah perempuan yang mengenakan pakaian mini, melainkan merupakan bentuk ketidakpedulian pelaku akan martabat perempuan itu sendiri?. Kurangnya rasa peduli atau sekedar rasa hormat si pelaku terhadap hak asasi orang lain (secara general, tanpa membedakan gender), mendorong pelaku pelecehan seksual untuk berlaku sesuka nafsunya. Inikah cerminan perilaku budaya patriarki yang cenderung meninggikan laki-laki?. Jika perempuan disalahkan atas pelecehan yang menimpa dirinya dikarenakan pakaiannya yang mengundang nafsu, mengapa para waria yang juga menunjukan bagian-bagian sensualnya tidak pula dilecehkan secara seksual? Jika perempuan ikut disalahkan atas pelecehan yang menimpa dirinya karena pakaian minim yang ia kenakan, bagaimana dengan laki-laki yang sudah lumrah melepas baju nya dan bertelanjang dada? Jika kami (para wanita) juga ikut tidak bisa menahan nafsu dan pada akhirnya 'kejadian', mengapa kami pula yang dicap 'murahan? apa bukan pula salah laki-lakinya?. 

Mungkin sudah saatnya kita merubah stigma yang telah bertahun-tahun lamanya terukir akan rendahnya nilai moralitas pada perempuan yang bebas mengekspresikan dirinya melalui penampilan. Sudah saatnya pula kita tanamkan nilai pengendalian diri, bukan hanya pakaian kami yang harus kami jaga, tapi pikiran kalianlah yang harus ditata ulang. 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun