Sidang MKD kemarin menyajikan tontonan rakyat yang cukup dramatis. Di chanel KompasTV, MetroTV dan TVOne menggunkan judul yang berbeda. Yang paling tidak sesuai dengan kenyataan adalah judul di MetroTV, masih setia dengan judul jadul "Mengadili Etika Setyo Novanto". Dari judul tiga channel TV berita itu pemirsa pasti paham mana yang tendensius dan mana yang mencoba adil, meskipun kita tahu channel-channel TV itu pasti punya orientasi yang berbeda.Â
Dalam tulisan ini saya tidak akan mengulas tentang tiga channel TV itu tapi saya ingin melihat dari isi pembicaraan Luhut dengan MKD. Tetapi sebelum itu saya sedikit ingin melihat ke belakang tentang persepsi saya terhadap Luhut sebelum kasus Freeport ini mencuat. Awalnya persepsi saya terhadap Luhut itu cenderung negatif, terutama ketika Jokowi mengangkat Luhut menjadi Kepala Staf Kepresidenan (KSK). Waktu itu saya sangat khawatir Luhut akan terlalu dominan mengatur kebijakan-kebijakan yang akan diambil Jokowi utama isu-isu strategis. Maka ketika JK sewot terhadap keputusan Jokowi itu, saya sangat mendukung kesewotan JK itu. Kekwawatiran saya makin bertambah ketika Jokowi mengangkatnya menjadi Menpolhukkam, saya semakin yakin bahwa Jokowi memang sudah diatur Luhut.
Waktu berjalan terasa sangat lambat. Tiba-tiba muncul kasus Freeport. Aktor-aktornya adalah orang-orang penting. Berawal dari laporan Sudirman Said (Menteri ESDM) kepada MKD DPR yang intinya menuduh ketua DPR Setyo Novanto melakukan pelanggaran Etik yang mencatut nama Presiden dan wakil presiden. Dahsyat. Semula saya salut dengan SS yang luar biasa keberaniannya untuk melaporkan ketua DPR ke MKD. Satu catatan tertulis dalam lembaran sejaran Indonesia seorang menteri melaporkan Ketua DPR. Selama ini yang kita tahu adalah dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat), menteri yang jadi bulan-bulannan DPR. Tetapi ini bertolak 180 derajad. Belakangan salut saya memudar ketika SS ternyata telah membuat surat (yang menurut saya melanggar Undang-undang) yang ditujukan kepada Jimm Bob yang isinya bisa ditafsirkan memberi jaminan tentang perpanjangan kontrak Freeport seraya menunggu perubahan regulasi. Prasangka muncul, sensasi SS ini hanya untuk mengalihkan kesalahan fatal yang telah dibuatnya. Dalam istilah sekarang "maling teriak maling".
Anehnya, ketika SS ditanya oleh hakim MKD, mohon tunjukkan percakapan SN, MR, dan MS yang menyatakan bahwa SN mencatut nama Presiden dan wakil presiden, justru SS bersilat lidah bahwa terminologi "catut-mencatut) itu bukan dari dirinya tetapi dari "media". Dan yang saya ingat MetroTV-lah yang pertama menggunakan terminologi "mencatut" ini.
Seperti judul tulisan ini, langsung saja saya ingin mengulas tentang "Mengukur Patriotisme Luhut". Sebelum ini saya sudah menulis tentang Luhut ini pada tanggal 12 Desember 2015, silahkan baca:Â http://www.kompasiana.com/criuuuk/luhut-marah-siapa-yang-ditarget_566b6b543293738e052127a0.Â
Jadi persepsi negatif saya kepada Luhut berubah total ketika saya melihat Konpres Luhut pada hari Jumat tanggal 11 Desember 2015. Di sana Luhut dengan berapi-api memastikan sikap pribadinya tentang kasus Freeport. Luhut menyajikan data-data konkrit yang ditujukan kepada pesiden Jokowi tentang advise-advise yang telah dilayangkan kepada presiden. Dia tidak mau presiden melanggar Undang-undang dalam menjalankan pemerintahan, khususnya tentang Freeport. Sebagai bekas tentara muncul sifat tegas dan lugasnya bahwa negara ini tidak boleh tunduk dan di atur oleh negara manapun apapun alasannya. Termasuk alasan invesatasi. Saya sangat terkejut dan salut dengan kalimat-kalimat patriotik yang sampaikan baik pada saat konpres maupun pada saat mengikuti sidang MKD. Beberapa kali Luhut mengungkapkan "saya berkepentingan melindungi dan loyal kepada atasan saya, dalam hal ini presiden republik Indonesia. Mengapa Luhut berulang-ulang mengatakan bahwa atasannya adalah presden RI, padahal secara ketatanegaraan, atasan menteri adalah presiden dan wakil presiden. Nah, di poin ini nampaknya secara tidak langsung JK itu bukan atasan Luhut, yang selama ini memang kurang enjoy dengan keberadaan Luhut. Luhut mungkin  ibarat "duri dalam daging" bagi JK. Mengapa? karena dengan kehadiran Luhut JK tidak bisa semaunya menggoreng Jokowi sekehendak hatinya. JK menggap Jokowi itu sepele. Masih Ingat " Jika Jokowi presiden hancur negeri ini"?
Luhut nampaknya memang orang dekat Jokowi yang paling loyal dibandingkan yang lainnya. Di usia Luhut yang sudah 68 tahun, mungkin dia sudah tidak lagi berambisi lebih banyak hanya ingin mengabdikan sisa hidupnya untuk negeri ini. Selain mantan tentara, Luhut memang tercatat juga sebagai pengusaha, dan sekarang menjadi Menteri Koordinator POlitik, Hukum, dan Keamananan, sebuah prestasi yang cukup baik. Â Tapi, capaian Luhut memang lebih baik jika dibanding dengan jenderal-jenderal lainnya. Mungkin ia hanya kalah prestasi dengan SBY. Semoga pengakuan-pengakuan Luhut di MKD kemarin benar-benar jujur dari lubuk hatinya yang paling dalam, bukan sekedar pemanis di mulut belaka. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H